Aku tidak menyuruh kalian menciptakan dunia yang lebih baik, karena kurasa kemajuan bukanlah sesuatu yang harus dicapai. Aku hanya menyuruh kalian hidup di dalamnya. Tidak sekedar bertahan, tidak sekedar mengalaminya, tidak sekedar melewatinya begitu saja, tetapi hidup di dalamnya. Memperhatikannya. Mencoba mengambil maknanya. Hidup dengan nekat. Mengambil peluang. Membuat karya sendiri dan bangga terhadapnya... (Joan Didion - 1975)

Monday, December 21, 2009

Salma

Ku sibak tirai putih yang menutupi kamar ini. Kamar yang menjadi saksi bisu perjalanan hidup Seorang Salma. Salma, saudara sepupu ku yang periang, mudah bergaul dan selalu menghembuskan angin kesegaran dengan adanya dia. Kuhirup dalam udara pagi yang terasa basah karena derasnya hujan semalam, terasa sejuk…. yang membuat ingatanku melayang pada kebiasaan ritual yang dilakukan Salma setiap pagi di depan jendela besar ini.

Kulangkahkan kaki menuju tempat tidur Salma, Sebuah kasur dengan sprai rapi yang terletak di atas permandani. Dulu, tempat tidur Salma tidak seperti ini, tapi 6 bulan kemarin, ia meminta Bik Na dan Mang Asep memindahkan tempat tidur, meja rias dan sebuah lemari tempat ia menyimpan koleksi-koleksi boneka kesayangannya ke gudang. Tak ayal, ketika Tante Rina mengetahuinya terjadi sebuah pertengkaran kecil, tapi untunglah Om Taka seorang yang bijak, dia menghargai keputusan Salma dengan alasan yang hanya Salma yang tahu. Sekarang, kamar Salma menjadi lengang seperti ini, menjadi begitu luas dan putih.

Tak sengaja, aku menemukan sebuah buku kecil namun tebal berwarna putih. Aroma bunga sedap malam tercium semerbak ketika aku membuka buku itu, bunga favorite Salma yang selalu dia selipkan di setiap bukunya. “Catatan apa ini?”, aku bertanya-tanya dalam hati. Dalam keheningan aku mencoba membaca tulisan tangan sepupu ku itu.

Jum’at, 12 Juni 2009
Hari ini, aku pulang dari tempat Dokter Ridwan. Ya, aku penasaran sekali dengan apa yang aku rasa tiga bulan terakhir ini. Pertanyaan Kenapa aku selalu merasa lelah dan pegal-pegal padahal aku sudah banyak istirahat dan minum suplemen, pertanyaan kenapa rambutku banyak yang rontok, dan pertanyaan kenapa aku selalu demam, padahal aku telah meminum obat penurun suhu tubuh. Pertanyaan itu terjawab sudah, setelah aku mendapatkan hasil diagnosa dari Dokter Ridwan, aku positif kena “lupus”. Entah, penyakit apa itu? Mulai sekarang aku akan mencari tahu…………….

Sabtu, 13 Juni 2009
Hari ini aku tidak keluar dari kamarku, ku kunci pintu kamar agar tidak kepergok mama atau Bik Nah ketika aku browsing. Ku ketik kata kunci “lupus” pada search google…. Hmmm banyak juga artikel-aktikel mengenai lupus ini. Kenapa aku selama ini tidak tahu mengenai penyakit ini. Semuanya sesuai dengan gejala-gejala yang aku alami. Ya Tuhan, ternyata umurku tidak lama lagi… walaupun di artikel ada juga para odapus (sebutan penderita lupus) yang sembuh, tapi itu masih sekian persen saja….. Ya Tuhan…..

Senin, 6 Juli 2009
Mama marah besar hari ini, karena aku meminta bik na dan mang asep membongkar tempat tidur dan lemariku. Inginnya sih, aku sumbangkan saja boneka-boneka itu untuk anak-anak jalanan yang aku temui tadi. Kasihan sekali mereka, apalagi si Mila. Tadi aku dapati dia menangis di tepi jalan. Katanya boneka nya direbut oleh temannya…. Hmmm.. tapi mama tadi ga bolehin… jadinya sekarang semuanya ada di gudang… tapi ga pa-pa lah, besok aku ambil satu atau dua boneka pasti mama ga tahu..hehehehe….
Malam ini panas bener, rasanya mau pecah kepala ini, padahal aku sudah minum obat yang diberi pak dokter…… kayaknya, besok aku harus ke dokter Ridwan lagi….

Rabu, 7 Juli 2009
Tuhan, berikan petunjuk kepada ku…. Kemarin dokter Ridwan menyarankan agar aku menceritakan penyakitku ini kepada mama dan papa… bagaimana mungkin aku melakukannya, tahu sendiri mama, orangnya mudah menangis… aku tak sanggup melihat mama menangis karena aku. Jadi, tadi aku minta tempo pada pak dokter…. Oh, ya… tadi pak dokter memberiku obat lymphostat-B. Katanya obat ini ini bisa menghambat protein yang bisa menstimulasi limposit B. Hmmm… semoga saja obat ini bisa bekerja, aku masih ingin hidup Tuhan…… beri aku kesempatan…………………….

Senin, 17 Agustus 2009
Meriah sekali Hut RI tahun ini di komplekku. Bersama-sama kami remaja karang taruna mengadakan acara yang lain dari tahun kemarin-kemarin. Kita mengadakan lomba unjuk kreatifitas keluarga, jadi tiap-tiap keluarga bebas mengekspresikan kreatifitasnya. Ada yang baca puisi, nyanyi, tari, dan ada juga yang tari balet keluarga. Kembali aku terbayang keluarga Si Togar menari Balet, Ucok juga ikut serta… tapi tari baletnya pake kain.. hahahahahahaha…..ada-ada saja….
Aku, papa, mama dan Ratih ga kalah juga dong…. Kita melakukan atraksi Sulap, atraksi ini kita pelajari hanya 1 minggu… tapi papa hebat buanget… dengan gaya guyonnya, papa bisa membuat semua orang bertepuk tangan…. Dan So Pasti Juara ke 3 Kita yang dapat….. I Love My Family…. Emmuach…

Selasa, 3 Nopember 2009
Hari ini aku putuskan hubunganku dengan Rio. Kemarin aku melihatnya dengan Sinta di Palembang Indah Mall sedang makan. Sebetulnya aku percaya pada Rio, kasihan dia tadi berusaha menjelaskan kepada ku tentang kejadian kemarin kalau Sinta hanya minta ditemani mencari kado. Tapi, Maafkan aku Rio….. Aku harus melakukannya, aku tak mau engkau terluka karena aku…. Aku merasa tubuhku ini sudah lemah sekali. Ya Tuhan… apakah umurku sudah tidak lama lagi????

Jum’at, 13 Nopember 2009
Malam ini aku meminum obat lymphostat-B ku yang terakhir. Aku tak mau lagi ke dokter Ridwan… Pak dokter selalu mendesakku agar aku menceritakan penyakitku kepada mama dan papa. Malah dokter ridwan bilang mau langsung menelepon papa. Ahh…. Ada-ada saja pak dokter itu. Karena itu. Aku yakinkan padanya untuk memberiku waktu agar aku dapat menceritakan sendiri kepada mama papa, untungnya Dr. Ridwan percaya. Hmmmmm selamat deh… tapi besok aku tak mau ke Dokter lagi. Aku merasa obat ini tak juga bermanfaat hampir lima bulan ini. Sekarang, waktunya aku mengisi sisa hidup ku….. hmmmm apa ya yang akan aku lakukan besok??? Oh ya, ada undangan di tempat tante Rani, asiik.. aku telepon semua sepupu-sepupu ku aaaahhhh……

Sabtu, 14 Nopember 2009
Tadi siang adalah acara keluarga yang paling seruuuuu…. Semuanya pada kumpul… keluarga tante Eka yang di Lampung juga ada… wuiiihhhhh… M.A.N.T.A.F A.B.I.S……. tapi tadi aku kerasa bener, aku ga kuat ikut berpanas-panas… maklum tadi arisannya kayak pesta kebun gitu….. tapi ga masalah, aku dan ratih tadi kebanyakkan ngadem di teras dari pada ikut berenang dengan yang lainnya…. Ku lihat tawa Ratih yang sangat lepas… aku senang sekali melihatnya tertawa seperti itu… Oh. My Sister.. I love you so much….. Im sorry when I never be a good sister for you….

Selasa, 17 nopember 2009
Kenapa hari ini aku tidak bisa bangun dari tempat tidurku…. Aku seperti tidak dapat merasakan apa-apa lagi… Tuhan, sekarang mama pasti sedang panik ketika melihat keadaanku, kasihan mama… kalau memang ini hari terakhirku… aku mohon ya Tuhan, jagalah keluargaku……

Tak ada lagi tulisan di buku ini, semuanya terhenti. Karena aku tahu bahwa pada tanggal 17 Nopember itu, Salma di bawa ke rumah sakit. Dia hanya bertahan 5 hari di rumah sakit itu, sampai hari ini hari ke tiga dari hari wafatnya. Aku terhenyu sendiri merenungi isi buku harian Salma. Kenapa kami tidak menyadari sedikitpun tentang ini, dan kami hanya mengetahuinya di akhir. Oh... dapat aku bayangkan apa yang dirasakan tante Rina sekarang. (21/12/209-amibae)

Thursday, December 17, 2009

Ke-3 : Menjaga Hati


"Mi, ayo cepat ikut aku", ajak Tiar tiba-tiba sambil menarik tanganku untuk segera beranjak dari duduk ku. "Kemana?", tanya ku bingung, sambil mulai beranjak untuk berdiri. "Ikut saja", kata Tiar yang terdengar bagaikan perintah di telingaku.

Ku ikuti langkah Tiar yang menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa. "Ada apa Tiar?", aku pun bertanya karena tak kuat menahan penasaran oleh tingkah aneh sahabatku itu pagi ini. Tiar tak menjawabku, malah langkahnya semakin cepat menuruni anak tangga menuju lantai dasar.

Tiar berjalan terus dan akhirnya berhenti di parkiran. Aku masih merasa bingung, dan kembali bertanya kenapa aku diajak ke tempat ini. "Lihat itu!", Tiar berbisik kepada ku sambil menunjuk tangannya ke dua orang pemuda yang sedang berbincang-bincang dengan asik. "Memang kenapa dengan mereka?", tanyaku semakin tidak mengerti. "Kamu lihat yang memakai kemeja abu-abu itu, dia Ditho, Mi", jawabnya. "Ditho siapa?", aku semakin tidak mengerti. "Pangeranku kembali", terang Tiar yang membuat aku semakin tak mengerti. Ku lihat raut wajah Tiar sangat khusuk memperhatikan laki-laki yang dia sebut pangerannya tersebut sampai akhirnya laki-laki itu menaiki mobilnya dan keluar dari pelataran parkir.

"Oh, God!", si hitam kumat lagi, dia berhenti tiba-tiba tanpa aku sendiri tahu apa sebabnya. "Bagaimana ini?", gumamku sambil melihat cakrawala sore telah menampakkan sinar kuning keemasannya menuju pekatnya malam. Ku dorong sepeda motorku itu perlahan-lahan menyusuri jalan A.Yani. dan tiba-tiba, "Perlu bantuan?", ku dengar suara yang keluar dari sebuah sedan biru yang menghampiriku.Kucari wajah darimana suara itu berasal, "Ya ampun, Ditho???", tanya ku sambil terbelalak melihatnya wajah pangerannya Tiar di parkiran pagi tadi ada di depanku sekarang.

"Kamu kenal aku?", Ditho bertanya heran kepadaku. "Ya, kamu temannya Tiar kan?", jawabku sambil balik melontarkan tanya kepadanya. "Tiar? maksudnya?", kulihat raut bingung yang terpancar dari muka yang cukup tampan itu. Akhirnya, kita sedikit berbincang-bincang, sambil ku lihat Ditho berusaha memperbaiki si hitam. "Kenapa Ditho tidak mengenal Tiar?", gumamku dalam hati menyimpulkan dari perbincangan kami itu.

Sampai juga aku di kost-an ku, "Untung saja ada Ditho", gumamku sambil merebahkan tubuhku yang terasa penat di tempat tidur. "Pikiranku kembali melayang ke Tiar, "kenapa Tiar menyebut Ditho pangerannya sedangkan Ditho sendiri tidak tahu siapa dia?", dan pertanyaan itu ternyata menjadi penutup pemikiranku menghantarkan ke dunia bawah sadarku malam itu.

"Hello Ladies!!", suara cempreng Tiar memecahkan konsentrasi dari pekerjaanku. "Makan siang dulu yuuk, dah jam dua belas lewat neeh...", ajaknya. "Oke deh, kemana kita?", tanyaku pada sahabatku yang rada centil ini. "Martabak HAR aja yuuk, kangen neeh", jawabnya sambil tertawa-tawa.

Akhirnya, sampai juga kami di Rumah Makan Martabak HAR yang berada tepat di depan Masjid Agung Palembang ini. Baunya yang sedap, membuat kami tak sabar menantinya tiba di hadapan kami. Sambil menunggu, kami menghirup teh botol yang telah kami pesan dahulu sambil mengobrol. "Hai Ami!", kami dikejutkan suara laki-laki yang telah ada di depan kami itu. "Boleh gabung?", tanya Ditho sang empunya suara yang di jawab dengan anggukkan pelan kami berdua.

"Kenalkan, aku Ditho?", suara Ditho memecahkan keheningan yang terjadi sambil mengulurkan tangannya kepada Tiar. "A..Aku Tiar...", sambut Tiar dengan terbatah-batah. "Tiar?", nada suara Ditho bertanya sambil melirik ke arahku. "Iya Tiar, yang aku ceritakan kemarin", jawabku dengan sedikit bingung dengan situasi yang berlangsung ini.

Sambil menikamati Martabak HAR yang telah terhidang, aku memperhatikan gerak-gerik Tiar yang sangat tidak biasa itu. "Kemana tenggelam cerewetnya sahabatku itu?" tanya ku dalam hati.

"Mi, kamu kenal Ditho?", tanya Tiar ketika dalam perjalanan pulang ke kantor. Aku kemudian menceritakan kejadian kemarin sore kepada sahabatku itu. "Kenapa Ditho tidak mengenal mu Tiar?", akhirnya aku menanyakan juga pertanyaan yang sudah lama sekali ingin kutanyakan kepada sahabatku itu. Kulihat Tiar hanya tersenyum sambil melihatku mengemudikan baleno putihnya itu.

"Aku mengenal Ditho dari kuliah dulu Mi, kita beda fakultas", Tiar akhirnya bersuara setelah beberapa menit kita terhanyut dalam keheningan. "Hubungan kami sangat indah, Mi kita berniat untuk segera bertunangan setelah wisuda. hingga akhirnya ketika saatnya kita diwisuda, aku mendengar kabar kalau Ditho mengalami kecelakaan, dia tak pernah datang di hari wisudanya Mi. Aku langsung menuju rumah sakit setelah acara wisuda-an selesai. Tiga malam aku dan keluarga Ditho menungguinya koma di ruang UGD, sampai akhirnya dokter menyarankan untuk melakukan operasi karena ada pembuluh saraf di kepala Ditho yang ternyata menjadi penyebab koma nya tersebut. Tapi, kita diberi pilihan yang sulit Mi, kata dokter kalau operasi pebuluh saraf tersebut dilakukan, dapat menyebabkan sebagian ingatan Ditho akan terhapus. Tidak ada pilihan Mi, akhirnya kita melakukan apa yang disarankan dokter", jelas Tiar. Kulihat air mata yang menetes di wajah sahabatku itu.

Satu minggu kemudian, Ditho akhirnya sadar dari komanya. kami semua senang, tapi ternyata apa yang dokter katakan ternyata terjadi, Ditho tidak mengenali kami. Dia histeris Mi, dia shoke sekali pada saat itu. Kulihat mama hanya bisa menangis melihat keadaan anak laki-laki satu-satunya itu. Satu tahun kemudian dari kejadian itu. Ingatan ditho sudah mulai terbangun. Tapi sayang ternyata kenangan ku dengannya tak ada satupun yang melekat di ingatannya. Walau mama sudah juga berusaha untuk membantu Ditho mengingatku, tapi semuanya nihil Mi. Sampai akhirnya Ditho memutuskan untuk melanjutkan pengobatannya ke Jepang.

Aku sangat mencintai Ditho Mi, aku akan selalu menunggunya sampai ia bisa mengingatku. Hanya dia pangeranku.... dan sekarang dia telah kembali Mi setelah dua tahun aku menantinya kembali dari Jepang.

Aku tak bisa berkomentar lagi, kulihat sahabatku itu sudah menangis terisak-isak, dan lirih Lagu Menjaga Hati dari Yovie and the nuno dari radio menghanyutkan kami dalam kebisuan dan pemikiran kami masing-masing sampai akhirnya tiba di kantor. (17/12/2009-amibae)

Wednesday, December 16, 2009

Ke-2 : Sebuah Kesan


Malam ini kembali hujan, seperti biasa aku membuka notebook untuk sekedar melihat status-status baru di facebook atau berselancar di dunia internet yang menurutku adalah jendelanya dunia setelah buku.

Setelah sedikit ber-sms dengan sahabatku yang sekarang mungkin masih menangis karena ingat hal-hal dimasa lalu, membuatku juga menjadi ikut merefleksikan perjalanan hidupku. Dan malam ini, aku teringat dengan Ani, tetangga ku.

Sore itu hari ke-2 bulan Ramadhan, ketika aku pulang dari kerja, ku lihat pintu kontrakkan sebelah terbuka. “Wah, akhirnya, ada juga yang mengisi kontrakkan sebelah setelah di tinggal “Pak Bos” ke Kaur-Bengkulu kurang lebih setengah bulan ini”, gumam ku sambil memasukkan “si hitam” untuk beristirahat setelah kelelahan menemaniku berkeliling-keliling desa.

Dua hari kemudian, sepulang dari kegiatan rutinku aku dikejutkan oleh suara tetangga baru ku yang bernama Ani itu. “Ayuk, bisa install computer gak?”, katanya. “hmmm, insyaallah bisa, kalau master drivernya ada An”, jawabku. Kemudian aku diajaknya ke kontrakkan sebelah untuk melihat keadaan laptopnya itu. “Lambat bener yuk”, ujarnya sambil memperlihatkan kepada ku kumpulan CD drivernya. Setelah aku lihat, ternyata driver laptopnya tidak ada, yang ada hanya CD Nero Burning dan CD DVD player. “ga ada CD Drivernya An:, kata ku lirih. “Terus bagaimana yuk?”, tanyanya, kulihat raut mukanya agak kecewa. “sudah pernah di defrag drive nya An?”, Tanya ku, yang dijawab dengan gelengan kepala dari Ani. Kemudian aku mengajarinya cara-cara men-defrag.

Ketika defrag drive sedang berlangsung, sebuah sedan hitam berhenti di depan kost kita. Seorang bapak-bapak berumur sekitar 40an masuk. “Sudah pulang pak?”, Tanya ani. “Iya”, jawab bapak itu yang menurut analisaku adalah bapaknya atau pamannya yang akan menemani Ani, karena menurut informasi ibu kost (yang punya kontrakkan), suaminya Ani adalah seorang pekerja proyek yang sering keluar kota. Ketika Azan magrib telah berkumanda, maka aku pamit pulang untuk ber-buka.

Esoknya, aku dengar suara ibu-ibu memanggil-manggil Ani, langsung saja aku keluar untuk memberitahukan bahwa Ani sedang keluar karena pagi tadi aku melihat Ani dan Bapaknya pergi dengan mobil. “Ani nya pergi dengan Bapak, buk”, kataku. Ternyata ibu itu adalah orang tuanya Ani. Akhirnya entah bagaimana, ibunya Ani bercerita, bahwa Bapak yang memakai sedan Hitam itu adalah suaminya Ani. Kulihat raut sedih dimuka ibu itu, Dia menceritakan bahwa ani yang baru berumur 19 tahun itu adalah istri ke-2. Dia pindah ke kontrakkan ini, karena Bapak (orang tua laki-laki) nya tidak merestui pernikahannya, dan selalu cekcok di rumah. “waktu Ani menikah, bapaknya tidak hadir Mi. Hanya ibu yang hadir karena bagaimanapun ibu adalah ibunya”, ujarnya lirih. “Ani fisiknya lemah Mi, karena itu ibu datang tiap hari ke sini untuk melihat keadaanya”, lanjutnya. Setelah hampir setengah jam cerita kami terhenti, ketika kami melihat sebuah mobil sedan hitam masuk ke perkarangan kontrakkan.

Kontrakkan ini sedikit ceria dengan kedatangan Ani. Anak ini sungguh periang sekali. Setiap hari dia mencari buah strowberi yang ada di kebun depan kontrakkan, sorenya dia menyirami tanaman strowberinya yang dia tanam di plastic polibeknya, yang waktu ku Tanya untuk apa menanam buah strowberi lagi? Dijawabnya dengan tertawa, “untuk ditanam di rumah nanti”.

Setiap hari, ada saja kesan yang dibuat Ani, ada cerita Goreng ubi malam-malam, cerita merumput kebun strowberi, cerita banjir martabak dan masih banyak lagi cerita-cerita lainnya. Pada H-7 Lebaran Idul Fitri aku pamit untuk pulang kampung ke Palembang. Dan ketika di Palembang Ani masih menghubungiku lewat sms-sms cerianya.

Di H+7 aku pulang kembali ke kota kecil ini. Langsung saja aku sms Ani ketika aku telah sampai di kontrakkanku dan aku dapati kontrakkannya kosong. Lewat balasan sms-nya ternyata ani sedang sakit dan sekarang ada di rumah ibunya. Dan lewat sms-nya juga dia berpesan kepadaku untuk menyirami stowberi-strowberi dalam polibeknya.

Innalillahi wa innailaihi roziun, dua minggu kemudian aku mendapat kabar bahwa Ani meninggal karena sakitnya. Terkejut sekali rasanya, tapi semua sudah menjadi kehendak Allah. Sampai sekarang aku tidak tahu Ani sakit apa, karena keluarganya menutupi. Dan aku masih belum sempat menanyakan alasan Ani untuk menikah dengan Bapak yang umurnya selisih jauh sekali, dan aku yakin, alasan ini hanya Ani yang tahu.

Selamat jalan Ani, semoga engkau tenang disisi-Nya. Walaupun pertemuan kita hanya kurang dari satu bulan, tapi engkau menoreh kesan di hati ini. (16/12/2009 - amibae)

Monday, December 14, 2009

Ke-1 : Jaringan Kisah Klasik

Malam itu, sahabatku datang kepadaku. Mukanya kulihat sangat tidak sejuk, tak ada gairah hidup yang terpancar di sana. Setelah aku buatkan secangkir teh manis untuknya, ku perhatikan saja kelakuannya yang menggonta-ganti channel tv yang hanya ada lima siaran tv itu.
Setelah pekerjaanku sebagian selesai, ku beranikan untuk bertanya kepadanya, ada apa gerangan? Tapi aku hanya mendapat respon diam tanpa bahasa darinya. Kemudian ku putuskan untuk kembali melanjutkan pekerjaanku merekap data yang tadinya terhenti.
"Mi, aku sakit....", ku dengar suara sahabatku untuk yang pertama kalinya setelah berjam-jam dalam keheningan. "Aku sakit Mi....", kembali dia mengulang kata-katanya yang kemudian disusul dengan linangan air mata. Ya Tuhan... itu kali pertamanya aku melihat sahabatku itu menangis. Sahabatku yang kuat dan selalu membantu dan melindungiku di kota ini menangis, seorang sahabat yang selalu menampakkan kedewasaannya malam itu mengalirkan air matanya, ada apakah gerangan?
"Mi, aku kehilangan dia..., hari in aku kehilangan dia...", parau suaranya di sela tangis yang tertahan. Aku bingung, kehilangan siapa maksudnya? Sahabat? Sesuatu, atau pacarkah?, segala bentuk pertanyaan berkecamuk di batinku. Memang aku belum lama kenal dengan sahabat ku ini, pertemuan kami sebagai patner kerja, membuat kami saling akrab. Tapi yang pasti untuk urusan pribadi, sahabatku ini sangat tertutup dengan siapa saja, dia bagaikan samudra luas yang tenang. Tapi malam itu, ternyata samudra itu akhirnya menunjukkan gelombangnya.
"Ada apa Nda?", tanya ku lirih dan pelan sekali, ku hentikan semua pekerjaan ku, dan ku pandang wajah sendu sahabatku yang tak mengalihkan pandangannya dari tv yang tak jelas channelnya itu. "Aku bagai buah simalakama Mi, aku tak tahu harus bagaimana lagi sekarang? bantu aku Mi....", ucapan sahabatku ini membuatku semakin tertegun dan hampir beku, ada apa gerangan dengannya, tanya dalam benakku bergemuruh.
"Urusan cinta kah?", tanya ku berusaha menebak. Sahabat ku itu bergeming dari posisi duduknya dan mematikan siaran tv. "Ya", jawabnya pelan tapi jelas.
Hampir lima belas menit kami saling terdiam dan membisu, aku bingung untuk memulai dari mana membantu sahabatku itu. "Dia tidak mau menerima ajakkan ku untuk menikah Mi, dia malah menyuruh aku untuk mengikuti keinginan ibu", ucapnya. "Gleg.. Ibu...", aku menelan ludah yang tertahan, bukankah ibunya sedang sakit, apakah keinginan ibunya ini sampai membuat sahabatku dan yang pastinya pacarnya yang ingin dinikahinya ini menolaknya, "Ada apa gerangan?" kembali batinku bertanya-tanya.
"Apa maksudnya Nda? aku tidak mengerti?", tanya ku jujur dalam keadaan bingung dalam situasi seperti itu. "Ibu ingin aku menikahi Nia, tapi aku tidak mencintainya Mi, tak pernah ada nama Nia dalam hati ku", ucapnya. Kembali kami terdiam untuk beberapa menit. "Sakit ibu bertambah parah Mi......, aku ingin membuat beliau bahagia di akhir hidupnya, tapi aku juga hanya ingin menikahi Cia, bantu aku Mi...", sahabatku itu merebahkan kepalanya di bantal besar dan menutup mukanya dengan kedua tangannya. "Siapa Cia, Nda?", aku bertanya pelan, karena baru sekali ini aku mendengar nama itu. "Iya Mi, Cia..., dia pacar aku, aku sangat mencintainya Mi, aku tak bisa hidup tanpanya...", sahabatku itu menjelaskan.
"Kenapa tidak kau katakan kepada ibu saja kalau kau sudah punya pacar Nda?" tanya ku untuk mencari kejelasan. "Sudah Mi, tapi aku tak tahu apa yang telah terjadi sehingga Ibu begitu marah waktu aku mengatakannya tadi. Dan gawatnya, ternyata ibu dan Nia telah merencanakan pernikahanku tanpa aku sendiri mengetahuinya. Undangan telah di cetak untuk tanggal 18, itu minggu depan Mi!!!", ku lihat sahabatku itu sudah meremas-remas rambutnya, kekesalan yang memuncak terbias dari raut mukanya. Memang posisi buah simalakama, aku tahu memang ibunya sekarang sedang di rawat di UGD, dan ternyata cerita Siti Nurbaya masih ada di jaman sekarang ini, malah sekarang Mandala yang mengalaminya, Mandala yang seorang Sarjana Teknik yang proyeknya berjibun di Palembang ini, ternyata masuk dalam jaringan kisah klasik ini.
"Dimana Cia sekarang Nda? kenapa aku tidak pernah melihatnya?, tanya ku sedikit menyelidik. "Dia di Bengkulu Mi, dia kerja di sana. Sudah sering aku memintanya pulang dan kerja di kota ini saja, aku yakin bisa mencarikan pekerjaan yang layak untuknya. Tapi dia selalu menolak, dia tetap pada pendirian dan kemandirian untuk pekerjaan yang cocok dengan hobinya itu", raut muka sahabatku itu masih datar. "Tadi dia menangis Mi.... dia menangis waktu aku cerita kan keadaan yang sebenarnya melalui telepon. Aku tahu dia juga mencintaiku seperti aku mencintainya..... aku sakit Mi..... aku sakit mendengar tangisnya.....", sahabatku itu menangis tersedu-sedu, tak ada lagi sosok keegoan pria yang aku lihat padanya. Yang aku lihat di depan ku ini adalah sosok makhluk Tuhan yang berada dalam kesedihan dan kegalauan yang sangat.
Aku mengajaknya tuk kawin lari Mi, tapi dia menolak, dia bilang sayang dengan ibu, dan dia ingin agar aku mengikuti keinginan ibu, dia memintaku untuk mengutamakan ibu....", sahabatku itu menarik nafas dalam sekali setelah menceritakan kegundahannya, tergambar jelas kepenatan di wajahnya saat dia menceritakannya kepada ku.
Kemudian kebisuan kembali terjadi diantara kami, tak satupun yang mampu mengeluarkan kata-kata, sampai sahabatku itu memutuskan untuk pulang.
Sudah tiga hari aku tidak bertemu dengan sahabatku itu, tapi undangan pernikahannya sudah sampai di meja kantor kami masing-masing hari ini. Setiap aku tanyakan dengan teman-teman, jawaban mereka rata-rata sama saja, untuk persiapan pernikahan yang tinggal empat hari lagi.
Sayang sekali, dihari pernikahannya aku mendapat tugas mendadak ke luar kota untuk satu minggu. Aku hanya bisa mengirimkan ucapan selamat melalui facebook dan emailnya. Sampai hari terakhir tugas ku ini, teleponnya tidak aktif lagi. " Bagaimana kabar sahabatku itu sekarang ya? semoga pernikahannya menjadi jalan hidup terbaik untuknya. Ingin rasanya cepat kembali ke Palembang untuk mengetahui keadaannya.(14/12/2009-amibae)