Aku tidak menyuruh kalian menciptakan dunia yang lebih baik, karena kurasa kemajuan bukanlah sesuatu yang harus dicapai. Aku hanya menyuruh kalian hidup di dalamnya. Tidak sekedar bertahan, tidak sekedar mengalaminya, tidak sekedar melewatinya begitu saja, tetapi hidup di dalamnya. Memperhatikannya. Mencoba mengambil maknanya. Hidup dengan nekat. Mengambil peluang. Membuat karya sendiri dan bangga terhadapnya... (Joan Didion - 1975)

Friday, January 15, 2010

Ke-7 : Dulu Pahlawan, Kini Tukang Becak

Seseorang yang dulu berjuang demi kemerdekaan Indonesia, kini berprofesi sebagai tukang becak, untuk mampu menghidupi keluarga kecilnya. Banyak pengalaman hidup yang bisa kita petik dari perjalanan nya...

Setiap manusia pernah mengalami masa-masa perjuangan dalam hidupnya. Seperti kota Surabaya, saat mengalami masa penjajahan, kota ini pun juga mengalami saat-saat penuh perjuangan. Banyak arek-arek Suroboyo yang rela mengorbankan dirinya untuk mendapatkan kebebasan dan kemerdekaan. Semua itu didasari oleh rasa kecintaan serta ketulusan terhadap kota pahlawan.

Satu di antara beribu orang-orang pemberani tersebut adalah Sunaryo. Laki-laki kelahiran Benowo, 28 Mei 1921 ini pun juga ikut dalam peperangan mempertahankan kemerdekaan. Bergabung dalam Kesatuan Hisbullah pada bulan September tahun 1945, membuatnya menjadi pemuda penuh semangat membela negara, “Dulu saya tidak ada niat apa-apa untuk ikut perang itu. Saya hanya ingin Indonesia ini merdeka” ungkapnya dengan nada serak.

Memang, niat untuk mempertahankan kemerdekaan yang tidak hanya setengah-setengah itu tampak pada masa mudanya dulu. Beliau pernah mengikuti beberapa kali peperangan di kota yang berbeda, secara gerilya, di antaranya Lamongan, Gresik, Mojokerto dan Surabaya.

Perang di Surabaya inilah yang menjadi perang pertama beliau, ketika menginjak usia 24 tahun. “Pas masa perang, saya tidak pernah bilang kalau saya ini tentara. Kalau saya bilang saya ini tentara, saya bisa di bunuh,” ujar laki-laki yang kini berusia usianya mulai menginjak 89 tahun ini. Kondisi yang sangat tidak kondusif saat itulah yang memaksa para pejuang ini benar-benar menyembunyikan identitasnya, agar tidak menjadi tahanan tetap para tentara kolonial.

Pengabdian selama empat tahun empat bulan, rasanya terbayar, dengan terbebasnya Indonesia dari tangan penjajah. Selesai masa itulah, Sunaryo muda akhirnya ditugaskan di Malang. Di sana beliau menjadi petugas jaga di kantor-kantor pemerintahan.

Siapa sangka, dipindah tugaskannya laki-laki pertama dari empat bersaudara ini, justru membuatnya menemukan tambatan hati. Soenarsih, wanita kelahiran tahun 1932 inilah yang sampai kini setia mendampingi beliau dalam keadaan suka maupun duka.

Wanita yang biasa dipanggil Bu Is inipun sedikit mengisahkan mengenai awal pertemuan dengan laki-laki kini yang menjadi pujaannya “Saya pertama kali bertemu Pak Nar (Sunaryo, red.) itu pas di Pasar Jagalan, Malang. Soalnya dulu kan saya sering jualan baju keliling di sana. Dan Pak Nar ini sering beli baju di tempat saya, tapi kembaliannya mesti disuruh ambil saya saja,” ungkapnya sembari tertawa.

Dari awal yang sederhana itulah, tahun 1965 mereka memutuskan untuk menikah, setelah sembilan bulan menjalin tali kasih. Merasa berada pada zona aman ketika berada di Malang, sepasang suami istri inipun hijrah kembali ke Surabaya, ditempat kelahiran Sunaryo.

“Setelah dari Malang, saya sama pak Nar pindah ke Surabaya sekitar tahun 70-an. Waktu itu kita tinggal di daerah Bendul Merisi,” cerita Bu Is sembari mengingat-ingat kembali. Pada tahun 70-an itulah perjuangan hidup mereka berdua benar-benar diuji.

Mulai dari berpindah-pindah, karena memang pada kala itu mereka berdua sama sekali tidak memiliki rumah, membuat mereka terpaksa harus kontrak. “Kami ini sudah banyak kali pindah-pindah rumah, sudah ada enam kali mungkin. Ya mau gimana lagi, namanya juga ngontrak,” ujar wanita pertama dari sebelas bersaudara ini.

Keadaan kala itu semakin sulit, ketika Sunaryo sudah tidak lagi ditugaskan oleh pemerintah. “Saat sudah pindah ke Surabaya, Pak Nar sudah tidak lagi jaga-jaga seperti di Malang dulu,” imbuhnya.

Untuk membantu meringankan beratnya kehidupan kala itu Ibu Is berjualan baju bekas keliling kampung, sedangkan Sunaryo ?? “Setelah selesai perang, pekerjaan saya Mbecak” ungkapnya dengan penuh semangat. Ya, dengan menarik becaklah beliau berusaha memenuhi kebutuhan keluarga.

Inilah medan pertempuran beliau kini, pertempuran melawan kerasnya hidup. Dengan berkeliling kota, laki-laki berbadan tegap ini berusaha mencari nafkah demi menghidupi keluarga kecilnya.

Seiring perkembangan zaman, semakin banyak alat transportasi yang tersedia, becak Sunaryo pun semakin sepi, “ Becaknya pak Nar mulai sepi itu sejak masuk tahun 2000. Kalau dulu sebelum tahun itu masih mending. Setidaknya masih ada lah yang naik” kenang Bu Is.

“Iya, kalau dulu sehari masih bisa dapat, 20 ribu, 15 ribu, atau 5 ribu. Kalau sekarang kadang-kadang malah gak dapet. Cuma duduk saja” imbuh laki-laki yang pernah mendapat tanda penghargaan dari Bung Karno ini.

Memasuki usianya yang semakin tua, Sunaryo memang tidak sekuat dulu. Bahkan membuat orang merasa berbelas kasih terhadapnya. “Dulu pernah pas saya nunggu penumpang di daerah Wonokromo, ada ibu-ibu yang mendekati saya. Dan ngasih saya uang 20 ribu. Ibu itu bilang, kalau saya mending pulang saja, sudah tua kok masih narik becak,” kenangnya.Memang kala itu usia beliau sudah memasuki 80 tahun.

Namun, rasa iba dari ibu tersebut tidak menyurutkan niatnya untuk tetap menarik becak. Karena, hanya itulah satu-satunya pekerjaan kebanggaan beliau. “ Pak Nar kan tidak bisa baca, karena saat perang beliau hanya sampai kelas dua SD. Jadi ya mau gimana lagi. Disamping itu, beliau juga bangga dengan pekerjaannya sekarang,” ujar istri Sunaryo yang sudah mendampinginya hampir 40 tahun lebih.

Peperangan sengit melawan penjajah, bergerilya dari satu kota ke kota yang lain, merasakan asam manisnya kehidupan sebagi seorang tukang becak, adalah sebuah potret kecil tentang kehidupan dimana terkadang rasa ketidakadilan itu berpihak. “Dulu Pak Nar belum dapat bantuan dari pemerintah sama sekali. Tapi kini, syukur saya panjatkan pada Tuhan, pemerintah sudah mulai memberikan perhatian, seiring usia Pak Nar yang semakin beranjak tua,” ungkap Bu Is sembari tersenyum.

Uang bulanan sebagai seorang veteran itulah yang kini menjadi menjadi tumpuan hidup mereka berdua. Sunaryo yang kini menderita sakit jantung dan darah tinggi, hanya bisa terbaring di rumah. Rasanya beliau sudah tidak sanggup lagi untuk mengayuh becak kebanggaannya. Sedangkan istri tercinta Bu Is, beliau menderita sakit ginjal, asam urat, dan sakit jantung, membuatnya tak mampu lagi menjajakan pakaian bekas secara berkeliling.

“Saya sekarang kalau duduk terlalu lama, pinggang ini rasanya sakit sekali,” rintihnya. Di tengah kehidupan mereka yang serba seadanya mereka tidak menuntut apapun. “Kami sudah hidup seperti ini, sudah cukup. Semua itu, apapun itu, patut untuk disyukuri,” ungkapnya diakhir pembicaraan.

Semoga kita mampu memetik pelajaran berharga dari kehidupan keluarga kecil seorang veteran pejuang kemerdekaan Sunaryo. Sebuah perjuangan hidup yang mereka jalani dengan tegar. (gal/kos)

di copy dari : www.koskosanku.com

Sunday, January 10, 2010

Ke-6 : Sinar

SubhanaLlah, Maha Suci Allah! Sangat mengharukan! Itulah sebagian besar ungkapan penonton saat melihat tayangan di SCTV tentang kisah anak usia 6 tahun mengurus ibunya yang lumpuh. Bahkan tidak sedikit yang menitikkan air mata saat menyaksikan Sinar, nama bocah belia itu menampakkan bakti, cinta dan kasih sayangnya pada sang bunda, mengabaikan masa kecilnya pada saat anak-anak seusianya menghabiskan waktunya dengan bermain, sementara ia harus berada di samping bundanya yang sakit sejak dua tahun lalu.

Rumah Murni, nama ibu yang lumpuh ini terletak Desa Riso, Kecamatan Tapango, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, Walau tampak jauh dari keramaian kota, tapi rumah Murni juga tidak luput dari keramaian Pemilu lalu. Terbukti dengan banyaknya sticker partai dan caleg yang tertempel di dinding rumah kayu sangat sederhana itu. Tapi sepertinya para politisi dan kader partai itu abai dengan apa yang terjadi di tengah keluarga miskin ini. Para tetanggalah yang terkadang memberikan bantuan ala kadarnya untuk Murni dam putrinya, Sinar. Karena suami Murni sendiri merantau ke Malaysia.

Sinarlah yang membantu dan menemani ibunya selama ini. Mulai dari memindahkan atau menggeser tubuhnya, masak, makan, minum, mandi hingga buang air. Semua itu ia kerjakan sendiri dengan penuh cinta. Tayangan yang ditampilkan SCTV ini bahkan sanggup meruntuhkan air mata mereka yang menyaksikannya. Ada rasa iba dan takjub sekaligus melihat bocah usia 6 tahun yang tampak penuh tanggung jawab melakukan tugas mulianya, sambil mengusap mesra pipi ibunya.

Bocah kelas satu Sekolah Dasar ini bahkan kerap terlambat ke sekolah karena harus mengurus ibunya. Begitu pula setelah pulang sekolah. Nyaris seluruh waktunya telah ia persembahkan bagi ibunya yang sakit parah. Walaupun Sinar memiliki lima orang kakak dan juga belum dewasa, namun mereka semua tinggal terpisah dengannya. Faktor ekonomi membuat mereka menjadi pembantu rumah tangga.

Kisah Sinar, bocah belia usia 6 tahun ini mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya berbakti kepada kedua orang tua. Walau di antara kita mungkin ada yang bertanya, apakah karena usianya yang masih sangat belia itu yang membuat Sinar mampu memahami arti berbakti kepada orang tua? Karena kita sendiri heran melihat perilaku seorang anak yang sudah dewasa justru tak sudi melayani ibunya yang renta dan tak mampu lagi berbuat apa-apa. Ia telah kehabisan cinta dan kasih sayang untuk ibunya.


Tapi begitulah Allah mengajarkan kepada kita tentang cinta kasih kepada orang tua melalui anak kecil ini. IA telah letakkan dalam hatinya pada saat banyak manusia yang justru tak memilikinya. Semoga saja ibu Murni dapat segera sembuh dari penyakit yang menimpanya. Dan putrinya, Sinar, senantiasa diberikan kekuatan oleh Allah Ta’ala berbakti kepada ibunya.

Kisah Sinar, bocah kelas satu Sekolah Dasar Tondo Pata, Polewali Mandar, Sulawesi Selatan, ternyata menggugah nurani banyak orang. Sejumlah dermawan memberikan berbagai bantuan seperti pakaian, beras, uang hingga kasur untuk tidur. Bahkan beberapa dermawan lainnya akan membantu biaya sekolah Sinar.

Cinta bocah bernama Sinar pada ibunya juga telah menginspirasi Charlie, vokalis band ST12. Sebagai bentuk simpati, Charlie menciptakan lagu berjudul Sinar Pahlawanku. Bukan hanya mencipta lagu, ST12 bahkan menginap di rumah anak perempuan berusia enam tahun itu.

Sontak rumah warga Dusun Tondo Pata, Desa Riso, Kecamatan Tapango, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, menjadi ramai. Penduduk berdatangan untuk melihat band Ibu Kota. Sementara bagi ST12, mereka ingin melihat langsung ketabahan dan kegigihan Sinar merawat ibunya yang lumpuh.

Kebiasaan sehari-hari Sinar, yaitu memasak dan mencuci pakaian. Semua dilakukan seorang diri karena para saudaranya sudah tidak tinggal di rumah. Jangan menangis sayang, ini hanyalah cobaan Tuhan. Hadapi semua dengan senyuman.
sumber:
http://berandakawasan.wordpress.com/2010/01/06/kisah-sinar-menggugah-banyak-orang/

Tuesday, January 5, 2010

Ke-5 : Pudarnya Pesona Cleopatra


Dengan panjang lebar ibu menjelaskan, sebenarnya sejak ada dalan kandungan aku telah dijodohkan dengan Raihana yang tak pernah kukenal.” Ibunya Raihana adalah teman karib ibu waktu nyantri di pesantren Mangkuyudan Solo dulu”
kata ibu.

“Kami pernah berjanji, jika dikarunia anak berlainan jenis akan besanan untuk memperteguh tali persaudaraan. Karena itu ibu mohon keikhlasanmu” , ucap beliau dengan nada mengiba.

Dalam pergulatan jiwa yang sulit berhari-hari, akhirnya aku pasrah. Aku menuruti keinginan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Aku ingin menjadi mentari pagi dihatinya, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan diriku.
Dengan hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun sesungguhnya dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan yang datang begitu saja dan tidak tahu alasannya. Yang jelas aku sudah punya kriteria dan impian tersendiri untuk calon istriku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa berhadapan dengan air mata ibu yang amat kucintai. Saat khitbah (lamaran) sekilas kutatap wajah Raihana, benar kata Aida adikku, ia memang baby face dan anggun.


Namun garis-garis kecantikan yang kuinginkan tak kutemukan sama sekali.
Adikku, tante Lia mengakui Raihana cantik, “cantiknya alami, bisa jadi bintang iklan Lux lho, asli ! kata tante Lia. Tapi penilaianku lain, mungkin karena aku begitu hanyut dengan gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra, yang tinggi semampai, wajahnya putih jelita, dengan hidung melengkung indah, mata bulat bening khas arab, dan bibir yang merah. Di hari-hari menjelang pernikahanku, aku berusaha menumbuhkan bibit-bibit cintaku untuk calon istriku, tetapi usahaku selalu sia-sia.

Aku ingin memberontak pada ibuku, tetapi wajah teduhnya meluluhkanku. Hari pernikahan datang. Duduk dipelaminan bagai mayat hidup, hati hampa tanpa cinta, Pestapun meriah dengan emapt group rebana. Lantunan shalawat Nabipun terasa menusuk-nusuk hati. Kulihat Raihana tersenyum manis, tetapi hatiku terasa teriris-iris dan jiwaku meronta. Satu-satunya harapanku adalah mendapat berkah dari Allah SWT atas baktiku pada ibuku yang kucintai.
Rabbighfir li wa liwalidayya!

Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk mesra tapi bukan cinta, hanya sekedar karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca ayat-ayatNya.
Raihana tersenyum mengembang, hatiku menangisi kebohonganku dan kepura-puraanku. Tepat dua bulan Raihana kubawa ke kontrakan dipinggir kota Malang.

Mulailah kehidupan hampa. Aku tak menemukan adanya gairah. Betapa susah hidup berkeluarga tanpa cinta. Makan, minum, tidur, dan shalat bersama dengan makhluk yang bernama Raihana, istriku, tapi Masya Allah bibit cintaku belum juga tumbuh. Suaranya yang lembut terasa hambar, wajahnya yang teduh tetap terasa asing. Memasuki bulan keempat, rasa muak hidup bersama Raihana mulai kurasakan, rasa ini muncul begitu saja. Aku mencoba membuang jauh-jauh rasa tidak baik ini, apalagi pada istri sendiri yang seharusnya kusayang dan kucintai. Sikapku pada Raihana mulai lain. Aku lebih banyak diam, acuh tak acuh, agak sinis, dan tidur pun lebih banyak di ruang tamu atau ruang kerja.

Aku merasa hidupku ada lah sia-sia, belajar di luar negeri sia-sia, pernikahanku sia-sia, keberadaanku sia-sia.

Tidak hanya aku yang tersiksa, Raihanapun merasakan hal yang sama, karena ia orang yang berpendidikan, maka diapun tanya, tetapi kujawab ” tidak apa-apa koq mbak, mungkin aku belum dewasa, mungkin masih harus belajar berumah tangga” Ada kekagetan yang kutangkap diwajah Raihana ketika kupanggil ‘mbak’, ” kenapa mas memanggilku mbak, aku kan istrimu, apa mas sudah tidak mencintaiku” tanyanya dengan guratan wajah yang sedih. “wallahu a’lam” jawabku sekenanya. Dengan mata berkaca-kaca Raihana diam menunduk, tak lama kemudian dia terisak-isak sambil memeluk kakiku, “Kalau mas tidak mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri kenapa mas ucapkan akad nikah?

Kalau dalam tingkahku melayani mas masih ada yang kurang berkenan, kenapa mas tidak bilang dan menegurnya, kenapa mas diam saja, aku harus bersikap bagaimana untuk membahagiakan mas, kumohon bukalah sedikit hatimu untuk menjadi ruang bagi pengabdianku, bagi menyempurnakan ibadahku didunia ini”. Raihana mengiba penuh pasrah. Aku menangis menitikan air mata buka karena Raihana tetapi karena kepatunganku. Hari terus berjalan, tetapi komunikasi kami tidak berjalan. Kami hidup seperti orang asing tetapi Raihana tetap melayaniku menyiapkan segalanya untukku.

Suatu sore aku pulang mengajar dan kehujanan, sampai dirumah habis maghrib, bibirku pucat, perutku belum kemasukkan apa-apa kecuali segelas kopi buatan Raihana tadi pagi, Memang aku berangkat pagi karena ada janji dengan teman. Raihana memandangiku dengan khawatir. “Mas tidak apa-apa” tanyanya dengan perasaan kuatir. “Mas mandi dengan air panas saja, aku sedang menggodoknya, lima menit lagi mendidih” lanjutnya. Aku melepas semua pakaian yang basah. “Mas airnya sudah siap” kata Raihana. Aku tak bicara sepatah katapun, aku langsung ke kamar mandi, aku lupa membawa handuk, tetapi Raihana telah berdiri didepan pintu membawa handuk. “Mas aku buatkan wedang jahe” Aku diam saja. Aku merasa mulas dan mual dalam perutku tak bisa kutahan.

Dengan cepat aku berlari ke kamar mandi dan Raihana mengejarku dan memijit-mijit pundak dan tengkukku seperti yang dilakukan ibu. ” Mas masuk angin. Biasanya kalau masuk angin diobati pakai apa, pakai balsam, minyak putih, atau jamu?” Tanya Raihana sambil menuntunku ke kamar. “Mas jangan diam saja dong, aku kan tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk membantu Mas”. ” Biasanya dikerokin” jawabku lirih. ” Kalau begitu kaos mas dilepas ya, biar Hana kerokin” sahut Raihana sambil tangannya melepas kaosku. Aku seperti anak kecil yang dimanja ibunya. Raihana dengan sabar mengerokin punggungku dengan sentuhan tangannya yang halus. Setelah selesai dikerokin, Raihana membawakanku semangkok bubur kacang hijau. Setelah itu aku merebahkan diri di tempat tidur. Kulihat Raihana duduk di kursi tak jauh dari tempat tidur sambil menghafal Al Quran dengan khusyu. Aku kembali sedih dan ingin menangis, Raihana manis tapi tak semanis gadis-gadis mesir titisan Cleopatra.

Dalam tidur aku bermimpi bertemu dengan Cleopatra, ia mengundangku untuk makan malam di istananya.” Aku punya keponakan namanya Mona Zaki, nanti akan aku perkenalkan denganmu” kata Ratu Cleopatra. ” Dia memintaku untuk mencarikannya seorang pangeran, aku melihatmu cocok dan berniat memperkenalkannya denganmu”. Aku mempersiapkan segalanya. Tepat puku 07.00 aku datang ke istana, kulihat Mona Zaki dengan pakaian pengantinnya, cantik sekali. Sang ratu mempersilakan aku duduk di kursi yang berhias berlian.

Aku melangkah maju, belum sempat duduk, tiba-tiba ” Mas, bangun, sudah jam setengah empat, mas belum sholat Isya” kata Raihana membangunkanku. Aku terbangun dengan perasaan kecewa. ” Maafkan aku Mas, membuat Mas kurang suka, tetapi Mas belum sholat Isya” lirih Hana sambil melepas mukenanya, mungkin dia baru selesai sholat malam. Meskipun cuman mimpi tapi itu indah sekali, tapi sayang terputus. Aku jadi semakin tidak suka sama dia, dialah pemutus harapanku dan mimpi-mimpiku. Tapi apakah dia bersalah, bukankah dia berbuat baik membangunkanku untuk sholat Isya.

Selanjutnya aku merasa sulit hidup bersama Raihana, aku tidak tahu dari mana sulitnya. Rasa tidak suka semakin menjadi-jadi. Aku benar-benar terpenjara dalam suasana konyol. Aku belum bisa menyukai Raihana. Aku sendiri belum pernah jatuh cinta, entah kenapa bisa dijajah pesona gadis-gadis titisan Cleopatra.

” Mas, nanti sore ada acara qiqah di rumah Yu Imah. Semua keluarga akan datang termasuk ibundamu. Kita diundang juga. Yuk, kita datang bareng, tidak enak kalau kita yang dieluk-elukan keluarga tidak datang” Suara lembut Raihana menyadarkan pengembaraanku pada Jaman Ibnu Hazm. Pelan-pelan ia letakkan nampan yang berisi onde-onde kesukaanku dan segelas wedang jahe.

Tangannya yang halus agak gemetar. Aku dingin-dingin saja. ” Maaf..maaf jika mengganggu Mas, maafkan Hana,” lirihnya, lalu perlahan-lahan beranjak meninggalkan aku di ruang kerja. ” Mbak! Eh maaf, maksudku D..Din..Dinda Hana!, panggilku dengan suara parau tercekak dalam tenggorokan. ” Ya Mas!”
sahut Hana langsung menghentikan langkahnya dan pelan-pelan menghadapkan dirinya padaku. Ia berusaha untuk tersenyum, agaknya ia bahagia dipanggil “dinda”. ” Matanya sedikit berbinar. “Te..terima kasih Di..dinda, kita berangkat bareng kesana, habis sholat dhuhur, insya Allah,” ucapku sambil menatap wajah Hana dengan senyum yang kupaksakan.

Raihana menatapku dengan wajah sangat cerah, ada secercah senyum bersinar dibibirnya. ” Terima kasih Mas, Ibu kita pasti senang, mau pakai baju yang mana Mas, biar dinda siapkan? Atau biar dinda saja yang memilihkan ya?”.
Hana begitu bahagia.

Perempuan berjilbab ini memang luar biasa, Ia tetap sabar mencurahkan bakti meskipun aku dingin dan acuh tak acuh padanya selama ini. Aku belum pernah melihatnya memasang wajah masam atau tidak suka padaku. Kalau wajah sedihnya ya. Tapi wajah tidak sukanya belum pernah. Bah, lelaki macam apa aku ini, kutukku pada diriku sendiri. Aku memaki-maki diriku sendiri atas sikap dinginku selama ini., Tapi, setetes embun cinta yang kuharapkan membasahi hatiku tak juga turun. Kecantikan aura titisan Cleopatra itu? Bagaimana aku mengusirnya. Aku merasa menjadi orang yang paling membenci diriku sendiri di dunia ini.

Acara pengajian dan qiqah putra ketiga Fatimah kakak sulung Raihana membawa sejarah baru lembaran pernikahan kami. Benar dugaan Raihana, kami dielu-elukan keluarga, disambut hangat, penuh cinta, dan penuh bangga. ”

Selamat datang pengantin baru! Selamat datang pasangan yang paling ideal dalam keluarga! Sambut Yu Imah disambut tepuk tangan bahagia mertua dan bundaku serta kerabat yang lain. Wajah Raihana cerah. Matanya berbinar-binar bahagia. Lain dengan aku, dalam hatiku menangis disebut pasangan ideal.

Apanya yang ideal. Apa karena aku lulusan Mesir dan Raihana lulusan terbaik dikampusnya dan hafal Al Quran lantas disebut ideal? Ideal bagiku adalah seperti Ibnu Hazm dan istrinya, saling memiliki rasa cinta yang sampai pada pengorbanan satu sama lain. Rasa cinta yang tidak lagi memungkinkan adanya pengkhianatan. Rasa cinta yang dari detik ke detik meneteskan rasa bahagia.

Tapi diriku? Aku belum bisa memiliki cinta seperti yang dimiliki Raihana.
Sambutan sanak saudara pada kami benar-benar hangat. Aku dibuat kaget oleh sikap Raihana yang begitu kuat menjaga kewibawaanku di mata keluarga. Pada ibuku dan semuanya tidak pernah diceritakan, kecuali menyanjung kebaikanku sebagai seorang suami yang dicintainya. Bahkan ia mengaku bangga dan bahagia menjadi istriku. Aku sendiri dibuat pusing dengan sikapku. Lebih pusing lagi sikap ibuku dan mertuaku yang menyindir tentang keturunan. ” Sudah satu tahun putra sulungku menikah, koq belum ada tanda-tandanya ya, padahal aku ingin sekali menimang cucu” kata ibuku. ” Insya Allah tak lama lagi, ibu akan menimang cucu, doakanlah kami. Bukankah begitu, Mas?” sahut Raihana sambil menyikut lenganku, aku tergagap dan mengangguk sekenanya.

Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap bersahabat dengan Raihana. Aku berpura-pura kembali mesra dengannya, sebagai suami betulan. Jujur, aku hanya pura-pura. Sebab bukan atas dasar cinta, dan bukan kehendakku sendiri aku melakukannya, ini semua demi ibuku. Allah Maha Kuasa. Kepura-puraanku memuliakan Raihana sebagai seorang istri. Raihana hamil. Ia semakin manis.

Keluarga bersuka cita semua. Namun hatiku menangis karena cinta tak kunjung tiba. Tuhan kasihanilah hamba, datangkanlah cinta itu segera. Sejak itu aku semakin sedih sehingga Raihana yang sedang hamil tidak kuperhatikan lagi. Setiap saat nuraniku bertanya” Mana tanggung jawabmu!” Aku hanya diam dan mendesah sedih. ” Entahlah, betapa sulit aku menemukan cinta” gumamku.

Dan akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilan Raihana memasuki bulan ke enam. Raihana minta ijin untuk tinggal bersama orang tuanya dengan alasan kesehatan. Kukabulkan permintaanya dan kuantarkan dia kerumahnya. Karena rumah mertua jauh dari kampus tempat aku mengajar, mertuaku tak menaruh curiga ketika aku harus tetap tinggal dikontrakan. Ketika aku pamitan, Raihana berpesan, ” Mas untuk menambah biaya kelahiran anak kita, tolong nanti cairkan tabunganku yang ada di ATM. Aku taruh dibawah bantal, no.pinnya sama dengan tanggal pernikahan kita”.

Setelah Raihana tinggal bersama ibunya, aku sedikit lega. Setiap hari Aku tidak bertemu dengan orang yang membuatku tidak nyaman. Entah apa sebabnya bisa demikian. Hanya saja aku sedikit repot, harus menyiapkan segalanya.
Tapi toh bukan masalah bagiku, karena aku sudah terbiasa saat kuliah di Mesir.

Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa Raihana. Suatu saat aku pulang kehujanan. Sampai rumah hari sudah petang, aku merasa tubuhku benar-benar lemas. Aku muntah-muntah, menggigil, kepala pusing dan perut mual. Saat itu terlintas dihati andaikan ada Raihana, dia pasti telah menyiapkan air panas, bubur kacang hijau, membantu mengobati masuk angin dengan mengeroki punggungku, lalu menyuruhku istirahat dan menutupi tubuhku dengan selimut. Malam itu aku benar-benar tersiksa dan menderita. Aku terbangun jam enam pagi. Badan sudah segar. Tapi ada penyesalan dalam hati, aku belum sholat Isya dan terlambat sholat subuh. Baru sedikit terasa, andaikan ada Raihana tentu aku ngak meninggalkan sholat Isya, dan tidak terlambat sholat subuh.

Lintasan Raihana hilang seiring keberangkatan mengajar di kampus. Apalagi aku mendapat tugas dari universitas untuk mengikuti pelatihan mutu dosen mata kuliah bahasa arab. Diantaranya tutornya adalah professor bahasa arab dari Mesir. Aku jadi banyak berbincang dengan beliau tentang mesir. Dalam pelatihan aku juga berkenalan dengan Pak Qalyubi, seorang dosen bahasa arab dari Medan. Dia menempuh S1-nya di Mesir. Dia menceritakan satu pengalaman hidup yang menurutnya pahit dan terlanjur dijalani. “Apakah kamu sudah menikah?” kata Pak Qalyubi. “Alhamdulillah, sudah” jawabku. ” Dengan orang mana?. ” Orang Jawa”. ” Pasti orang yang baik ya. Iya kan? Biasanya pulang dari Mesir banyak saudara yang menawarkan untuk menikah dengan perempuan shalehah. Paling tidak santriwati, lulusan pesantren. Istrimu dari pesantren?”. “Pernah, alhamdulillah dia sarjana dan hafal Al Quran”. ” Kau sangat beruntung, tidak sepertiku”. ” Kenapa dengan Bapak?” ” Aku melakukan langkah yang salah, seandainya aku tidak menikah dengan orang Mesir itu, tentu batinku tidak merana seperti sekarang”. ” Bagaimana itu bisa terjadi?”. ”

Kamu tentu tahu kan gadis Mesir itu cantik-cantik, dank arena terpesona dengan kecantikanya saya menderita seperti ini. Ceritanya begini, Saya seorang anak tunggal dari seorang yang kaya, saya berangkat ke Mesir dengan biaya orang tua. Disana saya bersama kakak kelas namanya Fadhil, orang Medan juga. Seiring dengan berjalannya waktu, tahun pertama saya lulus dengan predkat jayyid, predikat yang cukup sulit bagi pelajar dari Indonesia.

Demikian juga dengan tahun kedua. Karena prestasi saya, tuan rumah tempat saya tinggal menyukai saya. Saya dikenalkan dengan anak gadisnya yang bernama Yasmin. Dia tidak pakai jilbab. Pada pandangan pertama saya jatuh cinta, saya belum pernah melihat gadis secantuk itu. Saya bersumpah tidak akan menikaha dengan siapapun kecuali dia. Ternyata perasaan saya tidak bertepuk sebelah tangan. Kisah cinta saya didengar oleh Fadhil. Fadhil membuat garis tegas, akhiri hubungan dengan anak tuan rumah itu atau sekalian lanjutkan dengan menikahinya. Saya memilih yang kedua.

Ketika saya menikahi Yasmin, banyak teman-teman yang memberi masukan begini, sama-sama menikah dengan gadis Mesir, kenapa tidak mencari mahasiswi Al Azhar yang hafal Al Quran, salehah, dan berjilbab. Itu lebih selamat dari pada dengan YAsmin yang awam pengetahuan agamanya. Tetpai saya tetap teguh untuk menikahinya. Dengan biaya yang tinggi saya berhasil menikahi YAsmin.
Yasmin menuntut diberi sesuatu yang lebih dari gadis Mesir.

Perabot rumah yang mewah, menginap di hotel berbintang. Begitu selesai S1 saya kembali ke Medan, saya minta agar asset yang di Mesir dijual untuk modal di Indonesia. KAmi langsung membeli rumah yang cukup mewah di kota Medan. Tahun-tahun pertama hidup kami berjalan baik, setiap tahunnya Yasmin mengajak ke Mesir menengok orang tuanya. Aku masih bisa memenuhi semua yang diinginkan YAsmin. Hidup terus berjalan, biaya hidup semakin nambah, anak kami yang ketiga lahir, tetapi pemasukan tidak bertambah. Saya minta YAsmin untuk berhemat. Tidak setiap tahun tetapi tiga tahun sekali YAsmin tidak bisa.

Aku mati-matian berbisnis, demi keinginan Yasmin dan anak-anak terpenuhi.
Sawah terakhir milik Ayah saya jual untuk modal. Dalam diri saya mulai muncul penyesalan. Setiap kali saya melihat teman-teman alumni Mesir yang hidup dengan tenang dan damai dengan istrinya. Bisa mengamalkan ilmu dan bisa berdakwah dengan baik. Dicintai masyarakat. Saya tidak mendapatkan apa yang mereka dapatkan. Jika saya pengin rending, saya harus ke warung. YAsmin tidak mau tahu dengan masakan Indonesia.

Kau tahu sendiri, gadis Mesir biasanya memanggil suaminya dengan namanya.
Jika ada sedikit letupan, maka rumah seperti neraka. Puncak penderitaan saya dimulai setahun yang lalu. Usaha saya bangkrut, saya minta YAsmin untuk menjual perhiasannya, tetapi dia tidak mau. Dia malah membandingkan dirinya yang hidup serba kurang dengan sepupunya. Sepupunya mendapat suami orang Mesir.

Saya menyesal meletakkan kecantikan diatas segalanya. Saya telah diperbudak dengan kecantikannya. Mengetahui keadaan saya yang terjepit, ayah dan ibu mengalah. Mereka menjual rumah dan tanah, yang akhirnya mereka tinggal di ruko yang kecil dan sempit. Batin saya menangis. Mereka berharap modal itu cukup untuk merintis bisnis saya yang bangkrut. Bisnis saya mulai bangkit, Yasmin mulai berulah, dia mengajak ke Mesir. Waktu di Mesir itulah puncak tragedy yang menyakitkan. ” Aku menyesal menikah dengan orang Indonesia, aku minta kau ceraikan aku, aku tidak bisa bahagia kecuali dengan lelaki Mesir”.
Kata Yasmin yang bagaikan geledek menyambar. Lalu tanpa dosa dia bercerita bahwa tadi di KBRI dia bertemu dengan temannya. Teman lamanya itu sudah jadi bisnisman, dan istrinya sudah meninggal.

Yasmin diajak makan siang, dan dilanjutkan dengan perselingkuhan. Aku pukul dia karena tak bisa menahan diri. Atas tindakan itu saya dilaporkan ke polisi. Yang menyakitkan adalah tak satupun keluarganya yang membelaku.
Rupanya selama ini Yasmin sering mengirim surat yang berisi berita bohong.
Sejak saat itu saya mengalami depresi. Dua bulan yang lalu saya mendapat surat cerai dari Mesir sekaligus mendapat salinan surat nikah Yasmin dengan temannya. Hati saya sangat sakit, ketika si sulung menggigau meminta ibunya pulang”.

Mendengar cerita Pak Qulyubi membuatku terisak-isak. Perjalanan hidupnya menyadarkanku. Aku teringat Raihana. Perlahan wajahnya terbayang dimataku, tak terasa sudah dua bualn aku berpisah dengannya. Tiba-tiba ada kerinduan yang menyelinap dihati. Dia istri yang sangat shalehah. Tidak pernah meminta apapun. Bahkan yang keluar adalah pengabdian dan pengorbanan. Hanya karena kemurahan Allah aku mendapatkan istri seperti dia. Meskipun hatiku belum terbuka lebar, tetapi wajah Raihana telah menyala didindingnya. Apa yang sedang dilakukan Raihana sekarang? Bagaimana kandungannya? Sudah delapan bulan. Sebentar lagi melahirkan. Aku jadi teringat pesannya. Dia ingin agar aku mencairkan tabungannya.

Pulang dari pelatihan, aku menyempatkan ke took baju muslim, aku ingin membelikannya untuk Raihana, juga daster, dan pakaian bayi. Aku ingin memberikan kejutan, agar dia tersenyum menyambut kedatanganku. Aku tidak langsung ke rumah mertua, tetapi ke kontrakan untuk mengambil uang tabungan, yang disimpan dibawah bantal. Dibawah kasur itu kutemukan kertas Merah jambu. Hatiku berdesir, darahku terkesiap. Surat cinta siapa ini, rasanya aku belum pernah membuat surat cinta untuk istriku. Jangan-jangan ini surat cinta istriku dengan lelaki lain. Gila! Jangan-jangan istriku serong. Dengan rasa takut kubaca surat itu satu persatu. Dan Rabbi�?�ternyata surat-surat itu adalah ungkapan hati Raihana yang selama ini aku zhalimi. Ia menulis, betapa ia mati-matian mencintaiku, meredam rindunya akan belaianku. Ia menguatkan diri untuk menahan nestapa dan derita yang luar biasa. Hanya Allah lah tempat ia meratap melabuhkan dukanya. Dan ya .. Allah, ia tetap setia memanjatkan doa untuk kebaikan suaminya.
Dan betapa dia ingin hadirnya cinta sejati dariku.

“Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba bersimpuh dihadapan-Mu. Lakal hamdu ya Rabb. Telah muliakan hamba dengan Al Quran. Kalaulah bukan karena karunia-Mu yang agung ini, niscaya hamba sudah terperosok kedalam jurang kenistaan. Ya Rabbi, curahkan tambahan kesabaran dalam diri hamba” tulis Raihana.

Dalam akhir tulisannya Raihana berdoa” Ya Allah inilah hamba-Mu yang kerdil penuh noda dan dosa kembali datang mengetuk pintumu, melabuhkan derita jiwa ini kehadirat-Mu. Ya Allah sudah tujuh bulan ini hamba-Mu ini hamil penuh derita dan kepayahan. Namun kenapa begitu tega suami hamba tak mempedulikanku dan menelantarkanku. Masih kurang apa rasa cinta hamba padanya. Masih kurang apa kesetiaanku padanya. Masih kurang apa baktiku padanya? Ya Allah, jika memang masih ada yang kurang, ilhamkanlah pada hamba-Mu ini cara berakhlak yang lebih mulia lagi pada suamiku.

Ya Allah, dengan rahmatMu hamba mohon jangan murkai dia karena kelalaiannya.
Cukup hamba saja yang menderita. Maafkanlah dia, dengan penuh cinta hamba masih tetap menyayanginya. Ya Allah berilah hamba kekuatan untuk tetap berbakti dan memuliakannya. Ya Allah, Engkau maha Tahu bahwa hamba sangat mencintainya karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta ini kepadanya dengan cara-Mu. Tegurlah dia dengan teguran-Mu. Ya Allah dengarkanlah doa hamba-Mu ini. Tiada Tuhan yang layak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau”.

Tak terasa air mataku mengalir, dadaku terasa sesak oleh rasa haru yang luar biasa. Tangisku meledak. Dalam tangisku semua kebaikan Raihana terbayang. Wajahnya yang baby face dan teduh, pengorbanan dan pengabdiannya yang tiada putusnya, suaranya yang lembut, tanganya yang halus bersimpuh memeluk kakiku, semuanya terbayang mengalirkan perasaan haru dan cinta. Dalam keharuan terasa ada angina sejuk yang turun dari langit dan merasuk dalam jiwaku. Seketika itu pesona Cleopatra telah memudar berganti cinta Raihana yang datang di hati. Rasa sayang dan cinta pada Raihan tiba-tiba begitu kuat mengakar dalam hatiku. Cahaya Raihana terus berkilat-kilat dimata. Aku tiba-tiba begitu merindukannya. Segera kukejar waktu untuk membagi Cintaku dengan Raihana.

Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang seiring dengan air mataku yang menetes sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah mertua, nyaris tangisku meledak. Kutahan dengan nafas panjang dan kuusap air mataku. Melihat kedatanganku, ibu mertuaku memelukku dan menangis tersedu- sedu. Aku jadi heran dan ikut menangis. ” Mana Raihana Bu?”. Ibu mertua hanya menangis dan menangis. Aku terus bertanya apa sebenarnya yang telah terjadi.

” Raihanaï…istrimu. .istrimu dan anakmu yang dikandungnya” . ” Ada apa dengan dia”. ” Dia telah tiada”. ” Ibu berkata apa!”. ” Istrimu telah meninggal seminggu yang lalu. Dia terjatuh di kamar mandi. Kami membawanya ke rumah sakit. Dia dan bayinya tidak selamat. Sebelum meninggal, dia berpesan untuk memintakan maaf atas segala kekurangan dan kekhilafannya selama menyertaimu.

Dia meminta maaf karena tidak bisa membuatmu bahagia. Dia meminta maaf telah dengan tidak sengaja membuatmu menderita. Dia minta kau meridhionya” .
Hatiku bergetar hebat. ” kenapa ibu tidak memberi kabar padaku?”. ”

Ketika Raihana dibawa ke rumah sakit, aku telah mengutus seseorang untuk menjemputmu di rumah kontrakan, tapi kamu tidak ada. Dihubungi ke kampus katanya kamu sedang mengikuti pelatihan. Kami tidak ingin mengganggumu. Apalagi Raihana berpesan agar kami tidak mengganggu ketenanganmu selama pelatihan. Dan ketika Raihana meninggal kami sangat sedih, Jadi Maafkanlah kami”.

Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku pilu. Jiwaku remuk. Ketika aku merasakan cinta Raihana, dia telah tiada. Ketika aku ingin menebus dosaku, dia telah meninggalkanku. Ketika aku ingin memuliakannya dia telah tiada. Dia telah meninggalkan aku tanpa memberi kesempatan padaku untuk sekedar minta maaf dan tersenyum padanya. Tuhan telah menghukumku dengan penyesalan dan perasaan bersalah tiada terkira.

Ibu mertua mengajakku ke sebuah gundukan tanah yang masih baru dikuburan pinggir desa. Diatas gundukan itu ada dua buah batu nisan. Nama dan hari wafat Raihana tertulis disana. Aku tak kuat menahan rasa cinta, haru, rindu dan penyesalan yang luar biasa. Aku ingin Raihana hidup kembali. Dunia tiba-tiba gelap semua ……..

Sumber :
Buku : Pudarnya Pesona Cleopatra ( Novel Psikologi Islam Pembangun Jiwa )
Karangan : Habiburrahman El Shirazy ( Penulis Novel best seller Ayat-ayat cinta)

Dicopy dari : http://www.kisah.web.id/fiksi/pudarnya-pesona-cleopatra.html