Aku tidak menyuruh kalian menciptakan dunia yang lebih baik, karena kurasa kemajuan bukanlah sesuatu yang harus dicapai. Aku hanya menyuruh kalian hidup di dalamnya. Tidak sekedar bertahan, tidak sekedar mengalaminya, tidak sekedar melewatinya begitu saja, tetapi hidup di dalamnya. Memperhatikannya. Mencoba mengambil maknanya. Hidup dengan nekat. Mengambil peluang. Membuat karya sendiri dan bangga terhadapnya... (Joan Didion - 1975)

Saturday, May 30, 2015

Reuni

Menelusuri jalanan Basuki Rahmat di tengah gemerlap lampu kota ternyata tak membuat hati seterang cahaya malam, terngiang kembali diingatan kala "si dodot" memasang wajah sendu memandang ku. "Kenapa kamu? Kalau laper langsung lahap saja geh!", ujarku lancar, selancar jalanan di simpang patal dengan underpass nya. "Aku sedih melihat kamu, setiap tahun kita reuni, kamu begini-begini saja", ujarnya sembari menatap ku tajam. "Malah enak dong Dot, kalau aku begini-begini saja artinya aku awet muda dong!", ujarku ngeles dan disambut riuh suara teman-teman lain diikuti timpukan potato crispy serta tisu-tisu bekas.

"Come on beibs, look at me, didn't you want like me!", ujar si Farida sedikit nge-english karena sudah kelamaan bermain dengan koala dan kerja di pabrik pengolahaan minyak plus akhirnya menikah dengan bule muallaf di sana. "Iyo nih bibik satu nih, waktu kuliah dia yang sibuk gandengan kemana-mana, eh sekarang kita semua pada sudah merried, eh dia tetap kayak kambing ompong, kemano-mano dewek'an", ujar Dodot ikut-ikutan.

Thursday, May 28, 2015

Lelaki Tua Berkemeja Kusut dengan Ransel Kusam

"Permisi!", suara berat itu menghentakkan ku dari lamunan. Sosok lelaki tua berkemeja kusut dan beransel kusam mengambil kursi dan duduk disebelah ku.

Sejenak aku tercengang, entah apakah aku sedang bermimpi atau aku sekarang memang berada di bis kota, "aah,, bangun!! coba buka lebar-lebar mata mu!", ujarku sendiri sembari lekat memandang si lelaki tua yang telah menggunakan seat beal sembari membolak-balik majalah yang diselipkan di belakang kursi bagian depan. 

"Ada apa Non?", tanya si lelaki tua seperti menyadari pandangan mata ku yang tak berkedip kepadanya. "Eh, maaf pak,, maaf!", ujar ku gelagapan seperti seekor kucing yang tertangkap basah mencomot ikan di atas meja. Aku pun segera memasang seatbeal dan mengalihkan pandangan ke jendela dengan pemandangan sayap pesawat yang lebar siap membelah angkasa.


Masih merasa gundah, sesekali aku mencuri-curi pandang ke lelaki tua yang masih fokus membaca majalah setelah pesawat lepas landas. Karena tipe ku yang tak bisa menahan rasa penasaran, maka dengan jantung berdebar aku coba menyapa ke beliau. "Mau ke Yogya juga pak?", tanya ku penuh hormat seperti sebagaimana mestinya orang muda menyapa ke orang yang lebih tua. "Iya nak, pulang dulu, sudah dua minggu tak pulang, biasanya setiap minggu bapak pulang", ujarnya menjelaskan dengan senyum yang ramah.

"Asli Yogya?", tanya ku kemudian. "Aslinya Bapak Klaten, tapi keluarga semua di Yogya karena istri bapak aslinya orang sana", jawabnya ringan sembari tangannya kembali membalik lembar majalah dipangkuannya. " Bapak kerja di Palembang?", pertanyaan ku semakin berani menelisik mencari jawab atas rasa penasaran. "Iya!", jawabnya singkat mengundang tanya.

"Maaf, kalau saya banyak tanya, ngomong-ngomong kerjaan bapak apa ya?", tanya ku to the point ketika sadar 15 menit lagi pesawat akan mendarat. Lelaki tua tersebut tersenyum memandang ku, seperti bisa membaca rasa penasaran yang tersirat di kalbu. "Saya hanya seorang pengamen di lampu merah simpang Charitas Non, tapi alhamdulillah penghasilan saya bisa membiayai kuliah 2 anak saya di Universitas Negeri di Yogya, rezeki saya ya,,, hahaha", jawabnya sembari tertawa terbahak.

Aku terdiam, tak mampu berkata dan bertanya lagi sembari memandang ke lelaki tua berkemeja kusut dengan ransel kusam di pangkuannya itu. Aku pun mengucek mata sambil berkata di dalam hati "Apakah ini mimpi?"

Sunday, May 10, 2015

Sebuah Kisah Serupa Tapi Tak Sama

Awan hitam tanpa rembulan menjadi pemandangan dari balik jendela. Udara gerah yang menghantui kota Palembang beberapa malam ini membuat kipas angin yang berada di atas lemari mesti bekerja ekstra untuk bertempur melawan udara panas. Sembari membuka dan membaca beberapa file yang menjadi oleh-oleh EGM pertama ku di kota Bandung tanggal 3-6 Mei 2015, pikir ku pun tertegun ketika akan menghadapi sebuah kisah baru yang harus di tempuh. Akan kah ini menjadi awal sebuah buku baru yang terbuka? 

Hela nafas panjang mewarnai per-file yang dibuka. Sebuah kisah yang serupa tapi tak sama membentang luas dan siap untuk diwarnai. Bagai sebuah kertas putih yang bernama kesempatan  untuk menebus kesalahan-kesalahan yang pernah ku perbuat di program terdahulu.

Sahabat-sahabat Sos ku yang hebat

Aku harus banyak belajar lagi, mempelajari dimana batu-batu sandungan terletak agar tak kembali terjatuh di tempat yang sama. Mempelajari peta yang menjadi arah agar tak kembali tersesat. "Mulai dari Nol untuk tuntaskan 0", ujar seorang sahabat via bbm menjelma menjadi sebuah semangat baru agar aku tahu dimana titik harus memulai.


Friday, May 1, 2015

Hujan Deras Kembali Jatuh ke Bumi

Hujan deras kembali jatuh ke bumi
berdebam-debam tanpa tersaring oleh udara
turun melesat dengan cepat tanpa hambatan sang bayu

Hujan deras kembali jatuh ke bumi
membawa awan hitam bergantungan di langit
entah kapan akan berhenti

Hujan deras itu kembali jatuh ke bumi
menyirami tumbuhan, tanah dan semua kehidupan
semoga pelangi bukan hanya fatamorgana
kala langit  berhenti meneteskan air mata.