Malam itu, sahabatku datang kepadaku. Mukanya kulihat sangat tidak sejuk, tak ada gairah hidup yang terpancar di sana. Setelah aku buatkan secangkir teh manis untuknya, ku perhatikan saja kelakuannya yang menggonta-ganti channel tv yang hanya ada lima siaran tv itu.
Setelah pekerjaanku sebagian selesai, ku beranikan untuk bertanya kepadanya, ada apa gerangan? Tapi aku hanya mendapat respon diam tanpa bahasa darinya. Kemudian ku putuskan untuk kembali melanjutkan pekerjaanku merekap data yang tadinya terhenti.
"Mi, aku sakit....", ku dengar suara sahabatku untuk yang pertama kalinya setelah berjam-jam dalam keheningan. "Aku sakit Mi....", kembali dia mengulang kata-katanya yang kemudian disusul dengan linangan air mata. Ya Tuhan... itu kali pertamanya aku melihat sahabatku itu menangis. Sahabatku yang kuat dan selalu membantu dan melindungiku di kota ini menangis, seorang sahabat yang selalu menampakkan kedewasaannya malam itu mengalirkan air matanya, ada apakah gerangan?
"Mi, aku kehilangan dia..., hari in aku kehilangan dia...", parau suaranya di sela tangis yang tertahan. Aku bingung, kehilangan siapa maksudnya? Sahabat? Sesuatu, atau pacarkah?, segala bentuk pertanyaan berkecamuk di batinku. Memang aku belum lama kenal dengan sahabat ku ini, pertemuan kami sebagai patner kerja, membuat kami saling akrab. Tapi yang pasti untuk urusan pribadi, sahabatku ini sangat tertutup dengan siapa saja, dia bagaikan samudra luas yang tenang. Tapi malam itu, ternyata samudra itu akhirnya menunjukkan gelombangnya.
"Ada apa Nda?", tanya ku lirih dan pelan sekali, ku hentikan semua pekerjaan ku, dan ku pandang wajah sendu sahabatku yang tak mengalihkan pandangannya dari tv yang tak jelas channelnya itu. "Aku bagai buah simalakama Mi, aku tak tahu harus bagaimana lagi sekarang? bantu aku Mi....", ucapan sahabatku ini membuatku semakin tertegun dan hampir beku, ada apa gerangan dengannya, tanya dalam benakku bergemuruh.
"Urusan cinta kah?", tanya ku berusaha menebak. Sahabat ku itu bergeming dari posisi duduknya dan mematikan siaran tv. "Ya", jawabnya pelan tapi jelas.
Hampir lima belas menit kami saling terdiam dan membisu, aku bingung untuk memulai dari mana membantu sahabatku itu. "Dia tidak mau menerima ajakkan ku untuk menikah Mi, dia malah menyuruh aku untuk mengikuti keinginan ibu", ucapnya. "Gleg.. Ibu...", aku menelan ludah yang tertahan, bukankah ibunya sedang sakit, apakah keinginan ibunya ini sampai membuat sahabatku dan yang pastinya pacarnya yang ingin dinikahinya ini menolaknya, "Ada apa gerangan?" kembali batinku bertanya-tanya.
"Apa maksudnya Nda? aku tidak mengerti?", tanya ku jujur dalam keadaan bingung dalam situasi seperti itu. "Ibu ingin aku menikahi Nia, tapi aku tidak mencintainya Mi, tak pernah ada nama Nia dalam hati ku", ucapnya. Kembali kami terdiam untuk beberapa menit. "Sakit ibu bertambah parah Mi......, aku ingin membuat beliau bahagia di akhir hidupnya, tapi aku juga hanya ingin menikahi Cia, bantu aku Mi...", sahabatku itu merebahkan kepalanya di bantal besar dan menutup mukanya dengan kedua tangannya. "Siapa Cia, Nda?", aku bertanya pelan, karena baru sekali ini aku mendengar nama itu. "Iya Mi, Cia..., dia pacar aku, aku sangat mencintainya Mi, aku tak bisa hidup tanpanya...", sahabatku itu menjelaskan.
"Kenapa tidak kau katakan kepada ibu saja kalau kau sudah punya pacar Nda?" tanya ku untuk mencari kejelasan. "Sudah Mi, tapi aku tak tahu apa yang telah terjadi sehingga Ibu begitu marah waktu aku mengatakannya tadi. Dan gawatnya, ternyata ibu dan Nia telah merencanakan pernikahanku tanpa aku sendiri mengetahuinya. Undangan telah di cetak untuk tanggal 18, itu minggu depan Mi!!!", ku lihat sahabatku itu sudah meremas-remas rambutnya, kekesalan yang memuncak terbias dari raut mukanya. Memang posisi buah simalakama, aku tahu memang ibunya sekarang sedang di rawat di UGD, dan ternyata cerita Siti Nurbaya masih ada di jaman sekarang ini, malah sekarang Mandala yang mengalaminya, Mandala yang seorang Sarjana Teknik yang proyeknya berjibun di Palembang ini, ternyata masuk dalam jaringan kisah klasik ini.
"Dimana Cia sekarang Nda? kenapa aku tidak pernah melihatnya?, tanya ku sedikit menyelidik. "Dia di Bengkulu Mi, dia kerja di sana. Sudah sering aku memintanya pulang dan kerja di kota ini saja, aku yakin bisa mencarikan pekerjaan yang layak untuknya. Tapi dia selalu menolak, dia tetap pada pendirian dan kemandirian untuk pekerjaan yang cocok dengan hobinya itu", raut muka sahabatku itu masih datar. "Tadi dia menangis Mi.... dia menangis waktu aku cerita kan keadaan yang sebenarnya melalui telepon. Aku tahu dia juga mencintaiku seperti aku mencintainya..... aku sakit Mi..... aku sakit mendengar tangisnya.....", sahabatku itu menangis tersedu-sedu, tak ada lagi sosok keegoan pria yang aku lihat padanya. Yang aku lihat di depan ku ini adalah sosok makhluk Tuhan yang berada dalam kesedihan dan kegalauan yang sangat.
Aku mengajaknya tuk kawin lari Mi, tapi dia menolak, dia bilang sayang dengan ibu, dan dia ingin agar aku mengikuti keinginan ibu, dia memintaku untuk mengutamakan ibu....", sahabatku itu menarik nafas dalam sekali setelah menceritakan kegundahannya, tergambar jelas kepenatan di wajahnya saat dia menceritakannya kepada ku.
Kemudian kebisuan kembali terjadi diantara kami, tak satupun yang mampu mengeluarkan kata-kata, sampai sahabatku itu memutuskan untuk pulang.
Sudah tiga hari aku tidak bertemu dengan sahabatku itu, tapi undangan pernikahannya sudah sampai di meja kantor kami masing-masing hari ini. Setiap aku tanyakan dengan teman-teman, jawaban mereka rata-rata sama saja, untuk persiapan pernikahan yang tinggal empat hari lagi.
Sayang sekali, dihari pernikahannya aku mendapat tugas mendadak ke luar kota untuk satu minggu. Aku hanya bisa mengirimkan ucapan selamat melalui facebook dan emailnya. Sampai hari terakhir tugas ku ini, teleponnya tidak aktif lagi. " Bagaimana kabar sahabatku itu sekarang ya? semoga pernikahannya menjadi jalan hidup terbaik untuknya. Ingin rasanya cepat kembali ke Palembang untuk mengetahui keadaannya.(14/12/2009-amibae)
1 comment:
ka,ak suka baca cerita - cerita kaka,kenapa ga di terbitin?
Post a Comment