Seseorang yang dulu berjuang demi kemerdekaan Indonesia, kini berprofesi sebagai tukang becak, untuk mampu menghidupi keluarga kecilnya. Banyak pengalaman hidup yang bisa kita petik dari perjalanan nya...
Setiap manusia pernah mengalami masa-masa perjuangan dalam hidupnya. Seperti kota Surabaya, saat mengalami masa penjajahan, kota ini pun juga mengalami saat-saat penuh perjuangan. Banyak arek-arek Suroboyo yang rela mengorbankan dirinya untuk mendapatkan kebebasan dan kemerdekaan. Semua itu didasari oleh rasa kecintaan serta ketulusan terhadap kota pahlawan.
Satu di antara beribu orang-orang pemberani tersebut adalah Sunaryo. Laki-laki kelahiran Benowo, 28 Mei 1921 ini pun juga ikut dalam peperangan mempertahankan kemerdekaan. Bergabung dalam Kesatuan Hisbullah pada bulan September tahun 1945, membuatnya menjadi pemuda penuh semangat membela negara, “Dulu saya tidak ada niat apa-apa untuk ikut perang itu. Saya hanya ingin Indonesia ini merdeka” ungkapnya dengan nada serak.
Memang, niat untuk mempertahankan kemerdekaan yang tidak hanya setengah-setengah itu tampak pada masa mudanya dulu. Beliau pernah mengikuti beberapa kali peperangan di kota yang berbeda, secara gerilya, di antaranya Lamongan, Gresik, Mojokerto dan Surabaya.
Perang di Surabaya inilah yang menjadi perang pertama beliau, ketika menginjak usia 24 tahun. “Pas masa perang, saya tidak pernah bilang kalau saya ini tentara. Kalau saya bilang saya ini tentara, saya bisa di bunuh,” ujar laki-laki yang kini berusia usianya mulai menginjak 89 tahun ini. Kondisi yang sangat tidak kondusif saat itulah yang memaksa para pejuang ini benar-benar menyembunyikan identitasnya, agar tidak menjadi tahanan tetap para tentara kolonial.
Pengabdian selama empat tahun empat bulan, rasanya terbayar, dengan terbebasnya Indonesia dari tangan penjajah. Selesai masa itulah, Sunaryo muda akhirnya ditugaskan di Malang. Di sana beliau menjadi petugas jaga di kantor-kantor pemerintahan.
Siapa sangka, dipindah tugaskannya laki-laki pertama dari empat bersaudara ini, justru membuatnya menemukan tambatan hati. Soenarsih, wanita kelahiran tahun 1932 inilah yang sampai kini setia mendampingi beliau dalam keadaan suka maupun duka.
Wanita yang biasa dipanggil Bu Is inipun sedikit mengisahkan mengenai awal pertemuan dengan laki-laki kini yang menjadi pujaannya “Saya pertama kali bertemu Pak Nar (Sunaryo, red.) itu pas di Pasar Jagalan, Malang. Soalnya dulu kan saya sering jualan baju keliling di sana. Dan Pak Nar ini sering beli baju di tempat saya, tapi kembaliannya mesti disuruh ambil saya saja,” ungkapnya sembari tertawa.
Dari awal yang sederhana itulah, tahun 1965 mereka memutuskan untuk menikah, setelah sembilan bulan menjalin tali kasih. Merasa berada pada zona aman ketika berada di Malang, sepasang suami istri inipun hijrah kembali ke Surabaya, ditempat kelahiran Sunaryo.
“Setelah dari Malang, saya sama pak Nar pindah ke Surabaya sekitar tahun 70-an. Waktu itu kita tinggal di daerah Bendul Merisi,” cerita Bu Is sembari mengingat-ingat kembali. Pada tahun 70-an itulah perjuangan hidup mereka berdua benar-benar diuji.
Mulai dari berpindah-pindah, karena memang pada kala itu mereka berdua sama sekali tidak memiliki rumah, membuat mereka terpaksa harus kontrak. “Kami ini sudah banyak kali pindah-pindah rumah, sudah ada enam kali mungkin. Ya mau gimana lagi, namanya juga ngontrak,” ujar wanita pertama dari sebelas bersaudara ini.
Keadaan kala itu semakin sulit, ketika Sunaryo sudah tidak lagi ditugaskan oleh pemerintah. “Saat sudah pindah ke Surabaya, Pak Nar sudah tidak lagi jaga-jaga seperti di Malang dulu,” imbuhnya.
Untuk membantu meringankan beratnya kehidupan kala itu Ibu Is berjualan baju bekas keliling kampung, sedangkan Sunaryo ?? “Setelah selesai perang, pekerjaan saya Mbecak” ungkapnya dengan penuh semangat. Ya, dengan menarik becaklah beliau berusaha memenuhi kebutuhan keluarga.
Inilah medan pertempuran beliau kini, pertempuran melawan kerasnya hidup. Dengan berkeliling kota, laki-laki berbadan tegap ini berusaha mencari nafkah demi menghidupi keluarga kecilnya.
Seiring perkembangan zaman, semakin banyak alat transportasi yang tersedia, becak Sunaryo pun semakin sepi, “ Becaknya pak Nar mulai sepi itu sejak masuk tahun 2000. Kalau dulu sebelum tahun itu masih mending. Setidaknya masih ada lah yang naik” kenang Bu Is.
“Iya, kalau dulu sehari masih bisa dapat, 20 ribu, 15 ribu, atau 5 ribu. Kalau sekarang kadang-kadang malah gak dapet. Cuma duduk saja” imbuh laki-laki yang pernah mendapat tanda penghargaan dari Bung Karno ini.
Memasuki usianya yang semakin tua, Sunaryo memang tidak sekuat dulu. Bahkan membuat orang merasa berbelas kasih terhadapnya. “Dulu pernah pas saya nunggu penumpang di daerah Wonokromo, ada ibu-ibu yang mendekati saya. Dan ngasih saya uang 20 ribu. Ibu itu bilang, kalau saya mending pulang saja, sudah tua kok masih narik becak,” kenangnya.Memang kala itu usia beliau sudah memasuki 80 tahun.
Namun, rasa iba dari ibu tersebut tidak menyurutkan niatnya untuk tetap menarik becak. Karena, hanya itulah satu-satunya pekerjaan kebanggaan beliau. “ Pak Nar kan tidak bisa baca, karena saat perang beliau hanya sampai kelas dua SD. Jadi ya mau gimana lagi. Disamping itu, beliau juga bangga dengan pekerjaannya sekarang,” ujar istri Sunaryo yang sudah mendampinginya hampir 40 tahun lebih.
Peperangan sengit melawan penjajah, bergerilya dari satu kota ke kota yang lain, merasakan asam manisnya kehidupan sebagi seorang tukang becak, adalah sebuah potret kecil tentang kehidupan dimana terkadang rasa ketidakadilan itu berpihak. “Dulu Pak Nar belum dapat bantuan dari pemerintah sama sekali. Tapi kini, syukur saya panjatkan pada Tuhan, pemerintah sudah mulai memberikan perhatian, seiring usia Pak Nar yang semakin beranjak tua,” ungkap Bu Is sembari tersenyum.
Uang bulanan sebagai seorang veteran itulah yang kini menjadi menjadi tumpuan hidup mereka berdua. Sunaryo yang kini menderita sakit jantung dan darah tinggi, hanya bisa terbaring di rumah. Rasanya beliau sudah tidak sanggup lagi untuk mengayuh becak kebanggaannya. Sedangkan istri tercinta Bu Is, beliau menderita sakit ginjal, asam urat, dan sakit jantung, membuatnya tak mampu lagi menjajakan pakaian bekas secara berkeliling.
“Saya sekarang kalau duduk terlalu lama, pinggang ini rasanya sakit sekali,” rintihnya. Di tengah kehidupan mereka yang serba seadanya mereka tidak menuntut apapun. “Kami sudah hidup seperti ini, sudah cukup. Semua itu, apapun itu, patut untuk disyukuri,” ungkapnya diakhir pembicaraan.
Semoga kita mampu memetik pelajaran berharga dari kehidupan keluarga kecil seorang veteran pejuang kemerdekaan Sunaryo. Sebuah perjuangan hidup yang mereka jalani dengan tegar. (gal/kos)
di copy dari : www.koskosanku.com
Setiap manusia pernah mengalami masa-masa perjuangan dalam hidupnya. Seperti kota Surabaya, saat mengalami masa penjajahan, kota ini pun juga mengalami saat-saat penuh perjuangan. Banyak arek-arek Suroboyo yang rela mengorbankan dirinya untuk mendapatkan kebebasan dan kemerdekaan. Semua itu didasari oleh rasa kecintaan serta ketulusan terhadap kota pahlawan.
Satu di antara beribu orang-orang pemberani tersebut adalah Sunaryo. Laki-laki kelahiran Benowo, 28 Mei 1921 ini pun juga ikut dalam peperangan mempertahankan kemerdekaan. Bergabung dalam Kesatuan Hisbullah pada bulan September tahun 1945, membuatnya menjadi pemuda penuh semangat membela negara, “Dulu saya tidak ada niat apa-apa untuk ikut perang itu. Saya hanya ingin Indonesia ini merdeka” ungkapnya dengan nada serak.
Memang, niat untuk mempertahankan kemerdekaan yang tidak hanya setengah-setengah itu tampak pada masa mudanya dulu. Beliau pernah mengikuti beberapa kali peperangan di kota yang berbeda, secara gerilya, di antaranya Lamongan, Gresik, Mojokerto dan Surabaya.
Perang di Surabaya inilah yang menjadi perang pertama beliau, ketika menginjak usia 24 tahun. “Pas masa perang, saya tidak pernah bilang kalau saya ini tentara. Kalau saya bilang saya ini tentara, saya bisa di bunuh,” ujar laki-laki yang kini berusia usianya mulai menginjak 89 tahun ini. Kondisi yang sangat tidak kondusif saat itulah yang memaksa para pejuang ini benar-benar menyembunyikan identitasnya, agar tidak menjadi tahanan tetap para tentara kolonial.
Pengabdian selama empat tahun empat bulan, rasanya terbayar, dengan terbebasnya Indonesia dari tangan penjajah. Selesai masa itulah, Sunaryo muda akhirnya ditugaskan di Malang. Di sana beliau menjadi petugas jaga di kantor-kantor pemerintahan.
Siapa sangka, dipindah tugaskannya laki-laki pertama dari empat bersaudara ini, justru membuatnya menemukan tambatan hati. Soenarsih, wanita kelahiran tahun 1932 inilah yang sampai kini setia mendampingi beliau dalam keadaan suka maupun duka.
Wanita yang biasa dipanggil Bu Is inipun sedikit mengisahkan mengenai awal pertemuan dengan laki-laki kini yang menjadi pujaannya “Saya pertama kali bertemu Pak Nar (Sunaryo, red.) itu pas di Pasar Jagalan, Malang. Soalnya dulu kan saya sering jualan baju keliling di sana. Dan Pak Nar ini sering beli baju di tempat saya, tapi kembaliannya mesti disuruh ambil saya saja,” ungkapnya sembari tertawa.
Dari awal yang sederhana itulah, tahun 1965 mereka memutuskan untuk menikah, setelah sembilan bulan menjalin tali kasih. Merasa berada pada zona aman ketika berada di Malang, sepasang suami istri inipun hijrah kembali ke Surabaya, ditempat kelahiran Sunaryo.
“Setelah dari Malang, saya sama pak Nar pindah ke Surabaya sekitar tahun 70-an. Waktu itu kita tinggal di daerah Bendul Merisi,” cerita Bu Is sembari mengingat-ingat kembali. Pada tahun 70-an itulah perjuangan hidup mereka berdua benar-benar diuji.
Mulai dari berpindah-pindah, karena memang pada kala itu mereka berdua sama sekali tidak memiliki rumah, membuat mereka terpaksa harus kontrak. “Kami ini sudah banyak kali pindah-pindah rumah, sudah ada enam kali mungkin. Ya mau gimana lagi, namanya juga ngontrak,” ujar wanita pertama dari sebelas bersaudara ini.
Keadaan kala itu semakin sulit, ketika Sunaryo sudah tidak lagi ditugaskan oleh pemerintah. “Saat sudah pindah ke Surabaya, Pak Nar sudah tidak lagi jaga-jaga seperti di Malang dulu,” imbuhnya.
Untuk membantu meringankan beratnya kehidupan kala itu Ibu Is berjualan baju bekas keliling kampung, sedangkan Sunaryo ?? “Setelah selesai perang, pekerjaan saya Mbecak” ungkapnya dengan penuh semangat. Ya, dengan menarik becaklah beliau berusaha memenuhi kebutuhan keluarga.
Inilah medan pertempuran beliau kini, pertempuran melawan kerasnya hidup. Dengan berkeliling kota, laki-laki berbadan tegap ini berusaha mencari nafkah demi menghidupi keluarga kecilnya.
Seiring perkembangan zaman, semakin banyak alat transportasi yang tersedia, becak Sunaryo pun semakin sepi, “ Becaknya pak Nar mulai sepi itu sejak masuk tahun 2000. Kalau dulu sebelum tahun itu masih mending. Setidaknya masih ada lah yang naik” kenang Bu Is.
“Iya, kalau dulu sehari masih bisa dapat, 20 ribu, 15 ribu, atau 5 ribu. Kalau sekarang kadang-kadang malah gak dapet. Cuma duduk saja” imbuh laki-laki yang pernah mendapat tanda penghargaan dari Bung Karno ini.
Memasuki usianya yang semakin tua, Sunaryo memang tidak sekuat dulu. Bahkan membuat orang merasa berbelas kasih terhadapnya. “Dulu pernah pas saya nunggu penumpang di daerah Wonokromo, ada ibu-ibu yang mendekati saya. Dan ngasih saya uang 20 ribu. Ibu itu bilang, kalau saya mending pulang saja, sudah tua kok masih narik becak,” kenangnya.Memang kala itu usia beliau sudah memasuki 80 tahun.
Namun, rasa iba dari ibu tersebut tidak menyurutkan niatnya untuk tetap menarik becak. Karena, hanya itulah satu-satunya pekerjaan kebanggaan beliau. “ Pak Nar kan tidak bisa baca, karena saat perang beliau hanya sampai kelas dua SD. Jadi ya mau gimana lagi. Disamping itu, beliau juga bangga dengan pekerjaannya sekarang,” ujar istri Sunaryo yang sudah mendampinginya hampir 40 tahun lebih.
Peperangan sengit melawan penjajah, bergerilya dari satu kota ke kota yang lain, merasakan asam manisnya kehidupan sebagi seorang tukang becak, adalah sebuah potret kecil tentang kehidupan dimana terkadang rasa ketidakadilan itu berpihak. “Dulu Pak Nar belum dapat bantuan dari pemerintah sama sekali. Tapi kini, syukur saya panjatkan pada Tuhan, pemerintah sudah mulai memberikan perhatian, seiring usia Pak Nar yang semakin beranjak tua,” ungkap Bu Is sembari tersenyum.
Uang bulanan sebagai seorang veteran itulah yang kini menjadi menjadi tumpuan hidup mereka berdua. Sunaryo yang kini menderita sakit jantung dan darah tinggi, hanya bisa terbaring di rumah. Rasanya beliau sudah tidak sanggup lagi untuk mengayuh becak kebanggaannya. Sedangkan istri tercinta Bu Is, beliau menderita sakit ginjal, asam urat, dan sakit jantung, membuatnya tak mampu lagi menjajakan pakaian bekas secara berkeliling.
“Saya sekarang kalau duduk terlalu lama, pinggang ini rasanya sakit sekali,” rintihnya. Di tengah kehidupan mereka yang serba seadanya mereka tidak menuntut apapun. “Kami sudah hidup seperti ini, sudah cukup. Semua itu, apapun itu, patut untuk disyukuri,” ungkapnya diakhir pembicaraan.
Semoga kita mampu memetik pelajaran berharga dari kehidupan keluarga kecil seorang veteran pejuang kemerdekaan Sunaryo. Sebuah perjuangan hidup yang mereka jalani dengan tegar. (gal/kos)
di copy dari : www.koskosanku.com
No comments:
Post a Comment