Aku tidak menyuruh kalian menciptakan dunia yang lebih baik, karena kurasa kemajuan bukanlah sesuatu yang harus dicapai. Aku hanya menyuruh kalian hidup di dalamnya. Tidak sekedar bertahan, tidak sekedar mengalaminya, tidak sekedar melewatinya begitu saja, tetapi hidup di dalamnya. Memperhatikannya. Mencoba mengambil maknanya. Hidup dengan nekat. Mengambil peluang. Membuat karya sendiri dan bangga terhadapnya... (Joan Didion - 1975)

Tuesday, July 6, 2010

Ke-05 : Tamparan Untuk Bangsa Indonesia

Selasa, 6 Juli 2010

Salemba, Warta Kota, Pejabat Jakarta seperti ditampar. Seorang warganya harus menggendong mayat anaknya karena tidak mampu sewa mobil jenazah.
Penumpang kereta rel listrik (KRL) jurusan Jakarta-Bogor pun geger, Minggu (5/6). Sebab, mereka tahu bahwa seorang pemulung bernama Supriono (38 tahun) tengah menggendong mayat anaknya, Khaerunisa (3 tahun). Supriono akan memakamkan si kecil di Kampung Keramat, Bogor dengan menggunakan jasa KRL. Tapi di stasiun Tebet, Supriono dipaksa turun dari kereta, lantas dibawa ke kantor polisi karena dicurigai si anak adalah korban kejahatan. Tapi di kantor polisi, Supriono mengatakan si anak tewas karena penyakit muntaber. Polisi belum langsung percaya dan memaksa Supriono membawa jenazah itu ke RSCM untuk diautopsi.
Di RSCM, supriono menjelaskan bahwa Khaerunisa sudah 4 hari terserang muntaber. Dia sudah membawa Khaerunisa untuk berobat ke puskesmas Setia Budi."Saya hanya sekali bawa Khaerunisa ke puskesmas, saya tidak mempunyai uang untuk membawanya lagi ke puskesmas, meski biayanya hanya Rp.4000,- . Saya hanya pemulung kardus, gelas dan botol plastik yang penghasilannya hanya Rp.10.000,- per hari". Ujar bapak 2 anak yang mengaku tinggal di kolong perlintasan rel KA di Cikini itu. Supriono hanya bisa berharap Khaerunisa sembuh dengan sendirinya. Selama sakit, Khaerunisa terkadang masih mengikuti ayah dan kakaknya, Musriki Saleh (6tahun), untuk memulung kardus di Manggarai hingga Salemba, meski hanya terbaring digerobak ayahnya.
Karena tidak kuasa melawan penyakitnya, akhirnya khaerunisa menghembuskan nafas terakhirnya pada Minggu (5/6) pukul 07.00 wib. Khaerunisa meninggal di depan sang ayah, dengan terbaring di dalam gerobak yang kotor itu, di sela-sela kardus yang bau. Tak ada siapa-siapa, kecuali sang bapak dan kakaknya. Supriono dan Musriki termangu. Uang di saku tinggal Rp.6.000,- tak cukup untuk membeli kain kafan untuk membungkus mayat si kecil dengan layak, apa lagi sampai harus menyewa ambulans. Kaherunisa masih terbaring di gerobak. Supriono mengajak Musriki berjalan menyorong gerobak berisikan mayat itu dari manggarai hingga ke stasiun Tebet. Supriono berniat mengubur anaknya di kampong pemulung di Kramat, Bogor. Ia berharap di sana mendapatkan bantuan dari sesama pemulung.
Pukul 10.00 yang mulai terik, gerobak mayat itu tiba di stasiun Tebet. Yang tersisa hanya sarung kucel yang kemudian dipakai untuk membungkus jenazah si kecil. Kepala mayat anak yang dicinta itu dibiarkan terbuka, biar orang tak tahu kalau Khaerunisa sudah menghadap Sang Khalik. Dengan Menggandeng si sulung yang berusia 6 tahun, supriono menggendong khaeruisa menuju stasiun. Ketika KRL jurusan Bogor datang, tiba-tiba serang pedagang menghampiri Supriono dan menanyakan anaknya. Lalu dijelaskan oleh supriono bahwa anaknya telah meninggal dan akan dibawa ke Bogor. Spontan penumpang KRL yang mendengar penjelasan Supriono langsung berkerumun dan Supriono langsung dibawa ke kantor polisi Tebet. Polisi menyuruh agar Supriono membawa anaknya ke RSCM dengan menumpang ambulans hitam.
Supriono ngotot meminta agar mayat anaknya bisa segera dimakamkan. Tapi dia hanya bisa tersandar di tembok ketika menantikan surat permintaan pulang dari RSCM, sambil memandangi mayat Khaerunisa yang terbujur kaku. Hingga saat itu, Musriki sang kakak belum mengerti kalau adiknya telah meninggal masih terus bermain sambil sesekali memegang tubuh adiknya. Pukul 16.00 akhirnya petugas RSCM mengeluarkan surat tersebut, lagi-lagi karena tidak punya uang untuk menyewa ambulans, Supriono harus berjalan kaki menggendong mayat Khaerunisa dengan kain sarung sambil menggandeng tangan Musriki. Beberapa warga yang iba memberi uang sekadarnya untuk ongkos perjalanan ke Bogor. Para pedagang di RSCM juga memberikan air minum kemasan untuk bekal Supriono dan Musriki di perjalanan.
Psikolog Sartono Mukadis menangis mendengar cerita ini dan mengaku benar-benar terpukul dengan peristiwa yang sangat tragis tersebut karena masyarakat dan aparat pemerintah saat ini sudah tidak lagi perduli sesama. "Peristiwa itu adalah dosa masyarakat yang seharusnya kita bertanggung jawab untuk mengurus jenazah Khaerunisa. Jangan bilang keluarga Supriono tidak memiliki KTP atau KK atau bahkan tempat tinggal dan alamat tetap. Ini merupakan tamparan untuk bangsa Indonesia", ujarnya.
Koordinator Urban Poor Consortium, WArdah Hafiz, mengatakan peristiwa itu seharusnya tidak terjadi jika pemerintah memberi pelayanan kesehatan bagi orang yang tidak mampu. Yang terjadi selama ini, pemerintah hanya memerangi kemiskinan, tidak mengurusi orang miskin, kata Wardah.

Ditulis oleh : Muslim Sejati, 7 Juni 2005, 16:09:40
Sumber: Modul TOT Pelatihan Motivasional Relawan PNPM-MP

7 comments:

gaelby said...

Bela sungkawa yg mendalam buat keluarga pak Supriono atas Alm. Khaerunisa.

Potret Kekejaman Ibukota dan efek kebobrokan kapitalisme yg nyata.

Salam sobat :)

Unknown said...

Kejadian yang amat memprihatinkan sekali lebih-lebih terjadi di kota besar Jakarta. Seingat kami, bagi orang yang tidak mampu, biaya pengobatan mereka ditanggung oleh pemerintah alias gratis. Di daerah kami, bagi warga miskin mendapatkan pelayanan gratis bila sakit dan berobat ke Puskesmas atau RSUD. Disamping itu bagi mereka juga mendapatkan fasilitas pendidikan gratis. Berobat gratis dan sekolah gratis bagi warga miskin.

MONOKROM said...

SAYA SELALU SEDIH SETIAP KALI MEMBACA ATAU MENDENGAR BERITA TENTANG KESENGSARAAN ORANG-ORANG KECIL DI NEGERI INI...

KENAPA NEGERA SELALU GAGAL DALAM MENJAMIN KEBAIKAN UNTUK RAKYATNYA, APA DOSA RAKYAT SEHINGGA HARUS TERUS-MENERUS DIDERA KESENGSARAAN!

pakies said...

MasyaAllah tak terasa menetes air mata ini membaca kisah tragis di atas, begitu teganya memperlakukan rakyat tak berdaya. Padahal mengurus mayat adalah fardhu kifayah yang merupakan tanggung jawab bersama. Ya Allah ... bukalah pintu hati orang-orang seperti itu, dan berilah Alm khaerunisa taman surga dan kenikmatan kubur. Limpahkan kesabaran dan tawakal pada Pak Supriono

Natural Nusantara said...

jadi miris aku baca yang satu ini,,,,argggghhhhh marah sama siapa coba ouw shit!!!!!! sepertinya memang demikian keadaan kita yah,,,,,argggghhhhh gmn coba nih kalau ada seperti ini, terus terang aku jadi arggggghhhhhh ga bisa bilang apa2 aku.....

ariefborneo said...

Miris bgt ceritanya....

Nyayu Amibae said...

>> All : Hmmm... memang miris...