22 Rabiulawal 1432 H
Sabtu, 26 Februari 2011
Tetesan embun menjuntai bagaikan berlian di tepi dedaunan
Terpantul lah indahnya mozaik berwarna pelangi
Seluruh alam semesta bertasbih kepada-Nya
Dan dikala Allah membuka tabir dari kehidupan
Tak ada yang bisa untuk menolak
Karena semua harus menerima apa yang telah tertulis oleh-Nya
"Maaf nak, kalau bapak boleh tahu, nama anak siapa ya?", Sang Bapak membuka pecakapan tanpa menghentikan langkahnya. Aku tertawa pelan, setelah sejauh ini perjalanan ternyata kami masih saling belum tahu nama. Sang bapak menoleh ke arahku, beliau ikut tertawa melihat ku, "hehehe.. iya ya pak..maaf sangat pak, aku lupa memperkenalkan nama ku, panggil saja aku Buana pak", ujarku. "Oh.. nak Buana toh? kalau nama bapak Warto, dan itu Witri cucu bapak, ujar pak Warto sambil menunjuk ke arah Witri.
Entah berapa jauh dan berapa lama kami menelusuri jalan setapak ini. Tak ada sedikit pun rasa lelah yang aku rasa, bagaikan melangkah di atas awan dikala ku memandang keindahan ciptaan Tuhan.
Entah berapa jauh dan berapa lama kami menelusuri jalan setapak ini. Tak ada sedikit pun rasa lelah yang aku rasa, bagaikan melangkah di atas awan dikala ku memandang keindahan ciptaan Tuhan.
" Hayoo kak... kita hampir sampai...", ku rasakan sentuhan tangan mungil itu, menarik-narik ku seakan sudah tidak sabar menunjukan kepadaku sebuah kejutan. Aku hanya bisa tersenyum dan kemudian ikut berlari-lari kecil mengikuti langkah Witri menuruni anak tangga yang terbentuk dari kikisan tanah dengan riang, kulihat kaki mungil itu melompat-lompat dengan ritme yang membentuk alunan yang indah.
Kakiku terhenti bagaikan membeku ketika aku dihadapkan pada pemandangan yang sungguh-sungguh menakjubkan. Sawah-sawah terhampar bagaikan permandani, Sungai biru yang memantulkan bayang dari langit berkilauan menyilaukan mata, dedaunan dari pohon kelapa melambai-lambai bagai menarikan tari selamat datang yang indah untuk ku.
"Mari nak", ajakan pak Warto kembali membangunkanku dari lamunan. Kuikuti langkah pak Warto yang tetap gagah di masa tua nya dari belakang, dan Witri sudah terlalu jauh berlari meninggalkan kami ke arah persawahan.
***
Aku duduk di pondokkan sambil memandang pak Warto yang berjibaku dengan sawahnya, semilir angin bertiup menerpa wajahku, mengantarkan lamunanku kembali ke peristiwa tadi malam.
"Buana duduk!", bentakkan Papa menyambut kedatanganku dikala aku memasuki rumah. Ku lihat Mama dengan mata sembab duduk di sofa sebelah kanan bersama adikku Silla. "Aku capek Pa, mau tidur!", ujarku tak kalah ketus dan bergegas mengayunkan langkah menuju kamar.
"Buana!!", ku dengar suara Papa meninggi. Ku hentikan langkah ku, sayup indra pendengaranku menangkap suara isak tangis Mama dan Silla. "Mau Papa apa?", aku bertanya dengan suara yang tak kalah lantang, tanpa sedikitpun menoleh ke arah Papa. "Papa ingin kamu duduk di sini dan dengarkan apa yang ingin Papa katakan!", suara Papa sedikit mereda.
Aku membalikkan tubuh ku, berjalan menuju sofa dan duduk berhadapan dengan Papa. Hening beberapa saat, sampai akhirnya Papa membuka pembicaraan. "Kamu dari mana nak baru pulang malam begini?", tanya Papa dengan suara yang lembut. "Bukan urusan Papa!", jawabku masih dengan ketus. Aku sudah terlalu muak dengan perintah dan nasehat Papa, dan aku yakin malam ini aku pasti akan mendapat ceramah yang sama lagi. Kulihat Papa dan Mama menarik nafas panjang, aku tak begeming, ku ketuk-ketukkan jari ku di sisi sofa dengan pandangan memutari sekeliling.
"Tadi siang Papa di panggil ke sekolah mu, kata Pak Doni kamu sudah dua minggu ini tidak masuk tanpa kabar". Papa menghela nafas pelan, kemudian melanjutkan bicaranya, "Waktu Papa tanya Mama, Mama bilang kalau kamu setiap hari pergi ke sekolah, karena itu.. sekarang Papa tanya, kamu dari mana?"
"Gawat!", aku mendesah dalam hati, apa yang aku lakukan selama ini akhirnya ketahuan juga, "apa yang harus aku katakan? Apakah aku harus mengatakan kalau selama ini aku menghabiskan waktu dengan teman-teman Band ku, bernyanyi-nyanyi, berekspedisi di jalanan seakan-akan menjadi raja nya, bertempur dengan gerombolan si berat dari kampung rambutan, dan yang paling nikmat fly bersama di kamar si Theo dengan serbuk putih ajaib yang bisa menghantarkan kami ke alam yang tenang dan damai.
"Buana, ini surat pemberhentian dari sekolah mu, ini adalah sekolah ke empat yang mengeluarkan mu, Papa tak tahu apa salah Papa kepada mu nak..", suara Papa lirih, terlihat ada putus asa yang terpancar di matanya. Sekali lagi aku diam tak bergeming. "Tadi Papa juga menge-check rekening tabungan sekolah mu yang saldonya turun drastis", ujar Papa menambahkan. Gleg!! tenggorokanku terasa tercekat saat itu.
Aku tetap terdiam tak begeming, berbagai rasa berputar-putar di kepala ku. "Nak, Tinggalkanlah teman-teman mu itu..", sekali ini Mama yang angkat bicara. "Tidak bisa Ma! mereka sahabat-sahabatku yang paling setia!", ujarku membantah apa yang dikatakan Mama. "Nak, sahabat yang baik tidak akan merusak sahabatnya sendiri", Mama melanjutkan perkataannya dengan isak tangis yang tertahan.
"Sudahlah!! bosan aku mendengar ceramah kalian!", akhirnya kekesalanku tertumpahkan. Akupun berdiri dan melangkahkan kaki menuju pintu keluar. Indera pendengaranku masih mendengar suara Silla, Mama dan Papa yang memanggil-manggilku untuk kembali. Hatiku telah tertutup awan hitam kekesalan, dan tanpa menoleh sedikitpun aku meninggalkan mereka.
***
"Melamun lagi nak?", suara pak Warto membawaku kembali dari renungan panjang. aku tersenyum memandang Pak Warto yang sedang membersihkan cangkulnya di aliran irigasi. Di sebelahnya ku dapati juga Witri yang sibuk membersihkan sayur hasil panenan di lahan tambahan. "Orang tua mu benar, tak ada orang tua yang ingin mencelakakan anaknya sendiri", ujar Pak Warto ketika aku telah berdiri di sampingnya. "Dari mana bapak tahu yang aku pikirkan?", tanya ku sedikit kaget mendengar yang yang dikatakan Pak Warto. Pak Warto hanya tersenyum memandangku, dan berkata, "Mari kita pulang".
Aku tertegun, ku lihat Pak Warto dan Witri sudah selesai dengan pekerjaannya, dan telah siap melangkahkan kaki untuk pulang. "Tunggu Pak!!", aku setengah berteriak mengikuti langkah kaki Pak Warto. "Tenang saja nak, di sana telah banyak warga yang akan membantu tentang mobil mu", ujar pak Warto lirih. Gleg! aku terkesima tak percaya mendengar perkataan Pak Warto yang menjawab pertanyaan yang belum aku tanyakan.
Aku berjalan di belakang mengikuti langkah Pak Warto dan Witri. Pandanganku tertunduk memandang jalan setapak yang sama aku lalui pagi tadi. Entah kenapa, aku terbayang wajah Mama, Papa dan Silla, terbayang wajah yang sedih terpaut di wajah-wajah itu.
Kalbu ku terguncang hebat, Ya Tuhan.. betapa berdosanya aku, ujarku sambil mengusap kepala dengan kedua tanganku. terlintas keindahan dan ketulusan yang diberikan Mama dan Papa selama ini, tak ada keinginanku yang tidak ku dapatkan, Mama dan Papa selalu memberikan apa yang aku inginkan bila memang menurut mereka sudah pantas aku memilikinya. Air mata ku menetes tak tertahankan, membayangkan air mata Mama dan Papa yang jatuh karena ku. "Ya Tuhan.. betapa durhaka nya aku", ucapku lirih.
Aku mempercepat langkah kaki ku. Sosok Pak Warto dan Witri di depan tak terlihat lagi, "Hmm.. sepertinya aku sudah tertinggal jauh", ujarku dalam hati. "Ya Tuhan, aku akan segera pulang, dan aku akan meminta maaf kepada Mama dan Papa atas apa yang telah aku lakukan, aku berjanji Ya Tuhan. aku tak akan menyakiti hati mereka lagi", janji ku lirih di jalan setapak yang mulai menurun.
Dari kejauhan, ramai ku lihat kerumunan warga di jalan, "Ada apa?", aku bertanya-tanya dan semakin mempercepat langkahku. Karena rasa penasaran, susah payah aku menembus kerumunan warga yang menonton tim evakuasi bekerja di pinggiran jurang sebelah jalan setapak. "Ada mobil jatuh, dan kabarnya pengemudinya tak terselamatkan", terdengar sayup suara seorang ibu.
Akhirnya aku sampai ke barisan paling depan kerumunan, dan aku tertegun ketika ku lihat mobilku sedang dievakuasi agar bisa di tarik dari dalam jurang. "Ya Tuhan, kenapa aku ada di dalam mobil itu?".
"Mari nak", ajakan pak Warto kembali membangunkanku dari lamunan. Kuikuti langkah pak Warto yang tetap gagah di masa tua nya dari belakang, dan Witri sudah terlalu jauh berlari meninggalkan kami ke arah persawahan.
***
Aku duduk di pondokkan sambil memandang pak Warto yang berjibaku dengan sawahnya, semilir angin bertiup menerpa wajahku, mengantarkan lamunanku kembali ke peristiwa tadi malam.
"Buana duduk!", bentakkan Papa menyambut kedatanganku dikala aku memasuki rumah. Ku lihat Mama dengan mata sembab duduk di sofa sebelah kanan bersama adikku Silla. "Aku capek Pa, mau tidur!", ujarku tak kalah ketus dan bergegas mengayunkan langkah menuju kamar.
"Buana!!", ku dengar suara Papa meninggi. Ku hentikan langkah ku, sayup indra pendengaranku menangkap suara isak tangis Mama dan Silla. "Mau Papa apa?", aku bertanya dengan suara yang tak kalah lantang, tanpa sedikitpun menoleh ke arah Papa. "Papa ingin kamu duduk di sini dan dengarkan apa yang ingin Papa katakan!", suara Papa sedikit mereda.
Aku membalikkan tubuh ku, berjalan menuju sofa dan duduk berhadapan dengan Papa. Hening beberapa saat, sampai akhirnya Papa membuka pembicaraan. "Kamu dari mana nak baru pulang malam begini?", tanya Papa dengan suara yang lembut. "Bukan urusan Papa!", jawabku masih dengan ketus. Aku sudah terlalu muak dengan perintah dan nasehat Papa, dan aku yakin malam ini aku pasti akan mendapat ceramah yang sama lagi. Kulihat Papa dan Mama menarik nafas panjang, aku tak begeming, ku ketuk-ketukkan jari ku di sisi sofa dengan pandangan memutari sekeliling.
"Tadi siang Papa di panggil ke sekolah mu, kata Pak Doni kamu sudah dua minggu ini tidak masuk tanpa kabar". Papa menghela nafas pelan, kemudian melanjutkan bicaranya, "Waktu Papa tanya Mama, Mama bilang kalau kamu setiap hari pergi ke sekolah, karena itu.. sekarang Papa tanya, kamu dari mana?"
"Gawat!", aku mendesah dalam hati, apa yang aku lakukan selama ini akhirnya ketahuan juga, "apa yang harus aku katakan? Apakah aku harus mengatakan kalau selama ini aku menghabiskan waktu dengan teman-teman Band ku, bernyanyi-nyanyi, berekspedisi di jalanan seakan-akan menjadi raja nya, bertempur dengan gerombolan si berat dari kampung rambutan, dan yang paling nikmat fly bersama di kamar si Theo dengan serbuk putih ajaib yang bisa menghantarkan kami ke alam yang tenang dan damai.
"Buana, ini surat pemberhentian dari sekolah mu, ini adalah sekolah ke empat yang mengeluarkan mu, Papa tak tahu apa salah Papa kepada mu nak..", suara Papa lirih, terlihat ada putus asa yang terpancar di matanya. Sekali lagi aku diam tak bergeming. "Tadi Papa juga menge-check rekening tabungan sekolah mu yang saldonya turun drastis", ujar Papa menambahkan. Gleg!! tenggorokanku terasa tercekat saat itu.
Aku tetap terdiam tak begeming, berbagai rasa berputar-putar di kepala ku. "Nak, Tinggalkanlah teman-teman mu itu..", sekali ini Mama yang angkat bicara. "Tidak bisa Ma! mereka sahabat-sahabatku yang paling setia!", ujarku membantah apa yang dikatakan Mama. "Nak, sahabat yang baik tidak akan merusak sahabatnya sendiri", Mama melanjutkan perkataannya dengan isak tangis yang tertahan.
"Sudahlah!! bosan aku mendengar ceramah kalian!", akhirnya kekesalanku tertumpahkan. Akupun berdiri dan melangkahkan kaki menuju pintu keluar. Indera pendengaranku masih mendengar suara Silla, Mama dan Papa yang memanggil-manggilku untuk kembali. Hatiku telah tertutup awan hitam kekesalan, dan tanpa menoleh sedikitpun aku meninggalkan mereka.
***
"Melamun lagi nak?", suara pak Warto membawaku kembali dari renungan panjang. aku tersenyum memandang Pak Warto yang sedang membersihkan cangkulnya di aliran irigasi. Di sebelahnya ku dapati juga Witri yang sibuk membersihkan sayur hasil panenan di lahan tambahan. "Orang tua mu benar, tak ada orang tua yang ingin mencelakakan anaknya sendiri", ujar Pak Warto ketika aku telah berdiri di sampingnya. "Dari mana bapak tahu yang aku pikirkan?", tanya ku sedikit kaget mendengar yang yang dikatakan Pak Warto. Pak Warto hanya tersenyum memandangku, dan berkata, "Mari kita pulang".
Aku tertegun, ku lihat Pak Warto dan Witri sudah selesai dengan pekerjaannya, dan telah siap melangkahkan kaki untuk pulang. "Tunggu Pak!!", aku setengah berteriak mengikuti langkah kaki Pak Warto. "Tenang saja nak, di sana telah banyak warga yang akan membantu tentang mobil mu", ujar pak Warto lirih. Gleg! aku terkesima tak percaya mendengar perkataan Pak Warto yang menjawab pertanyaan yang belum aku tanyakan.
Aku berjalan di belakang mengikuti langkah Pak Warto dan Witri. Pandanganku tertunduk memandang jalan setapak yang sama aku lalui pagi tadi. Entah kenapa, aku terbayang wajah Mama, Papa dan Silla, terbayang wajah yang sedih terpaut di wajah-wajah itu.
Kalbu ku terguncang hebat, Ya Tuhan.. betapa berdosanya aku, ujarku sambil mengusap kepala dengan kedua tanganku. terlintas keindahan dan ketulusan yang diberikan Mama dan Papa selama ini, tak ada keinginanku yang tidak ku dapatkan, Mama dan Papa selalu memberikan apa yang aku inginkan bila memang menurut mereka sudah pantas aku memilikinya. Air mata ku menetes tak tertahankan, membayangkan air mata Mama dan Papa yang jatuh karena ku. "Ya Tuhan.. betapa durhaka nya aku", ucapku lirih.
Aku mempercepat langkah kaki ku. Sosok Pak Warto dan Witri di depan tak terlihat lagi, "Hmm.. sepertinya aku sudah tertinggal jauh", ujarku dalam hati. "Ya Tuhan, aku akan segera pulang, dan aku akan meminta maaf kepada Mama dan Papa atas apa yang telah aku lakukan, aku berjanji Ya Tuhan. aku tak akan menyakiti hati mereka lagi", janji ku lirih di jalan setapak yang mulai menurun.
Dari kejauhan, ramai ku lihat kerumunan warga di jalan, "Ada apa?", aku bertanya-tanya dan semakin mempercepat langkahku. Karena rasa penasaran, susah payah aku menembus kerumunan warga yang menonton tim evakuasi bekerja di pinggiran jurang sebelah jalan setapak. "Ada mobil jatuh, dan kabarnya pengemudinya tak terselamatkan", terdengar sayup suara seorang ibu.
Akhirnya aku sampai ke barisan paling depan kerumunan, dan aku tertegun ketika ku lihat mobilku sedang dievakuasi agar bisa di tarik dari dalam jurang. "Ya Tuhan, kenapa aku ada di dalam mobil itu?".
26 comments:
cerita yang menarik....
waaah... siap-siap kaget ternyata pemeran utamanya ada di alam lain....
wah serem juga ya ceritanya mbak...?
sumpah aku merinding...? ada hikmahnya juga cerita ini.....
mampir nich...
Assalamualaikum Ami...
ga nyangka endingnya ternyata ga ketebak oleh saya....saya tadinya mengira bakal Happy ending dan Buana akan pulang kerumah orang tuanya...ternyata endingnya Stephen Spielberg punya....
inilah yang membuat saya merindukan karya tulis mu sob...tetap berkarya dan semangat ya...
sangat imajinatif.... ^_^
salam kenal sob
Jazakallah
Aiihh. Sumpah. Keren bgt ceritanya. Saya gak bisa nebak gmn alurnya. Kalaupun udh menebak, pasti salah. Keren :D
weleh uda bagian -2. Maaf, telat wkwkwk.
Btw....kerrreeennn!! Jempol dah!!
Endingnya surprise!
Ditunggu cerita berikutnya *lumayan gak usah beli novel, toh disi uda mantabb.. xixixi*
o..begitu ya endingnya.
nama tokohnya kok sama ya dg namaku,:)
salam
keren + serem mbak ceritanya ..... :)
wuih.jadi takut
mskih yah sudah berkunjung...
di tunggu nih penerbitan bukunya...
asswrwb.... silaturahim bentar sis Ami chayank, ntar balik lg...
asswrwb... mudah2an bisa dijadikan pelajaran spy tiap tindakan kita hrs kt pikirkan terlebih dahulu agr tak ada penyesalan yg terlambat...nice story.
wah...belum ada cerita yg baru ya sob,saya jadi ketagihan baca2 di cerita hujan ^_^
tuch yang namanya sama takut gak??? :)
mampir lagi sob setelah menghilang selama 2 minggu hehe, sob saya undang buat ikutan memeriahkan ultah blog saya. Ditunggu ikut sertanya :)
hoahemm..numpang nguap...
jadi sampai nggak sadarnya tau-tau bisa udah didalem mobil itu?..
hemm.. lain kali jangan keasyikan melamun tuuh :)
nyimak lagi ah...asyiik soalnya
knp jadi bawa bawa alam lain?!?!
mengambil hikmah disini;) salam kenal Nyayu Amibae
pagiiiii
andai si bapak tau kalo yg diajak bicara itu arwah gimana yaa....??? Kabuuuuuurrrr....!!!
mampir lagi :)
masih nunggu kiriman foto halo shudai nyaaa..
benar kali sobat...
bahasa yang digunakan sangat indah
kunjungi jg bahan bacaan saya :
jurnal
ekonomi andalas
Kalau rasa berdosa atau bersalah masih ada barangkali arwahnya masih jadi penasaran ya Mba? :)
Ceritanya memang mantap!
Maaf...telat mampir
Post a Comment