Aku tidak menyuruh kalian menciptakan dunia yang lebih baik, karena kurasa kemajuan bukanlah sesuatu yang harus dicapai. Aku hanya menyuruh kalian hidup di dalamnya. Tidak sekedar bertahan, tidak sekedar mengalaminya, tidak sekedar melewatinya begitu saja, tetapi hidup di dalamnya. Memperhatikannya. Mencoba mengambil maknanya. Hidup dengan nekat. Mengambil peluang. Membuat karya sendiri dan bangga terhadapnya... (Joan Didion - 1975)

Sunday, October 2, 2011

Hujan Pertama (bagian-3)

Ku kendarai kuda besi ku dengan berbagai Tanya di dalam hati, sesekali aku melirik ke amplop putih yang menyembul bagian atas nya dari saku kemeja berwarna biru ku. “hmm,,, hal yang sangat aneh dan diluar akal sehat, siapa kah yang mengamanahkan surat ini kepada sang bapak penjual tape singkong? Teman ku kah? Tapi kenapa sang bapak malah berkata agar aku tidak membuka amplop putih ini? Huaah… mimpi kah ini?”, aku pun mencoba mengerjam-ngerjapkan mata, berharap kalau semua ini adalah mimpi dan aku akan terbangun di atas tempat tidur ku. Tetapi ternyata itu hanya sekedar harapan.

“Ooeeeii!! Mayooo!!!”, aku tersentak mendengar nama ku dipanggil ketika baru saja aku akan melewati gang kecil menuju rumah ku. Segera aku menekan rem si kuda besi dengan kaki kanan ku, dan ku lihat si Akbar berlari-lari kecil menuju kepada ku.

“Ada apa?” , tanpa ba bi bu aku langsung bertanya kepada si Akbar yang masih terengah-engah mengatur nafas nya. Badan bongsor nya memang betul-betul payah untuk di ajak berlari. “Pak Dulah tadi datang ke rumah, kata nya ada hal penting yang ingin ia bicarakan pada mu?”,ujar Akbar sembari mengatur nafas nya. “Tumben-tumben Pak Dulah mencari ku, memang ada hal penting apa?”, Tanya ku sembari mengernyit kan dahi. “Aku tidak tahu, tapi tadi katanya beliau sudah datang ke rumah mu, tapi karena kamu tidak ada, maka ia meminta ku untuk menyampai kan pesan nya. Kata nya sangat penting!, karena itu beliau meminta mu untuk menemuinya di masjid ba’da sholat isya malam ini”, ujar Akbar. “Hmm.. kira-kira hal penting apa ya?”, aku kembali bertanya ke pada Akbar, tetapi sekali lagi aku hanya mendapat jawaban gelengan kepala.  “Baiklah, terima kasih ya!”, ujar ku tersenyum. Akbar pun membalas senyum ku dan melambaikan tangan nya ketika aku kembali melesat menunggangi si kuda besi.

***

“Nak, tadi Pak Dulah mencari mu”, ujar ibu saat melihat aku memasuki dapur. Aku segera menuju ke rak piring yang tersandar di sudut ruang, mengambil sebuah gelas, dan langsung menuju meja makan yang juga terletak di sisi dapur. Sambil menuang air dari teko, ku lihat ibu sedang sibuk melipat kotak kue, masih banyak tumpukkan kotak kue yang belum dilipat bertumpuk di atas meja. Alhamdulillah usaha kecil-kecilan ibu untuk mengisi waktu senggangnya sekarang lumayan maju pesat, awalnya hanya tetangga-tetangga sekitar rumah saja yang memesan kue buatan ibu, tetapi lamban laun kue buatan ibu mulai terkenal, tak jarang instansi pemerintahan yang akan menyelenggarakan acara juga memesan kue dari ibu.

“Iya, bu,, tadi si Akbar juga memberi tahu ku, kira-kira ada apa ya bu? Tumben-tumben Pak Dulah mencari ku?”, sekarang giliran ibu yang aku Tanya akibat rasa penasaran. “Ibu juga tidak tahu nak, seperti nya ada hal yang penting. Sekarang baiknya kamu segera mandi dan sholat Magrib di masjid, sebentar lagi azan loh!”, ujar ibu. “Baiklah ibu ku  sayang!!! Tapi kok aku tidak di kasih kue ya?”, ujar ku sambil melirik nakal ke arah kue kukus yang berwarna warni tersusun rapi di nampan bulat. “eeittss… nanti dulu!! Itu sudah ada yang pesan!! Nanti kalau ada sisa baru boleh!”, ujar ibu sambil tersenyum. “Masa’ anak semata wayang nya ini cuma dikasih kue sisa?”, ujar ku dengan sedikit menekukkan wajah. “Itu sudah nasib mu jadi anak tukang kue!”, jawab ibu asal sambil tertawa. Aku pun tertawa  sambil menuju kamar mandi,, aah,, ibu ku,, memang tidak pernah berubah, selalu menjaga amanah dari langganannya.

Aku merasakan sensasi segar sehabis mandi, seluruh penat terasa bagaikan terbang menghilang. Setelah memakai pakaian koko berwana abu-abu, aku pun terduduk di sisi tempat tidur ku sembari memandang ke amplop putih yg telah aku selamatkan dari saku sebelum si pakaian biru terlempar ke keranjang pakaian kotor. Kembali aku mengamat-amati  amplop putih bertuliskan nama ku itu. Ingin rasa nya aku menyobek amplop misterius itu dan langsung membaca isi nya, tetapi niat ku segera aku urung kan ketika terdengar suara azan dari masjid. Aku pun meletakkan amplop itu di dalam laci meja belajar ku, dan kemudian bergegas memenuhi panggilan Sang Penguasa Alam. (bersambung)

10 comments:

Piyen said...

penasaran aq sama isi amplopnya... ditunggu kelanjutannya...

iffa hoet said...

ndang di bukak to...??!! penasaran-gak sabar hehe...

Amy said...

kalo dilarang malah kepikiran... itulah manusia

Danu Akbar said...

HIhihi.. penasaran....

Ferdinand said...

Hayah... belum sampe rumahnya pak Dulah kok udah bersambung aja toh sista haha... padahal lagi asik nih bacanya haha... yo wes aku tak nunggu sambungannya aja deh, tapi si amplop belum dibuka kan ya????

belitung said...

pendatang baru,salam kenal !

Unknown said...

assalammuallaikum..
salam kenal ya mbak, nama saya tami, bagus lho mbak tulisanya, saya tunggu yng berikutnya ya? oh iya kalau berkenan follow blog saya juga ya mbak^^

zan said...

yaelah udah bagian 3 aja, musti buru2 baca bagian satu nih mumpung bagian 4 nya belum terbit...


Pa kabar sobat ku di Palembang sana, kangen ngga sama aku... #jayus bener dah gw

maaf ya Ami lama ngga nongol di sini, semoga Ami selalu sehat dan di beri kelancaran dalam segala hal...

Unknown said...

nice :)
salam kenal semuanya

Skydrugz said...

kenapa ndak langsung dibuka sj....


ayo cepat buka amplopnya....