Aku tidak menyuruh kalian menciptakan dunia yang lebih baik, karena kurasa kemajuan bukanlah sesuatu yang harus dicapai. Aku hanya menyuruh kalian hidup di dalamnya. Tidak sekedar bertahan, tidak sekedar mengalaminya, tidak sekedar melewatinya begitu saja, tetapi hidup di dalamnya. Memperhatikannya. Mencoba mengambil maknanya. Hidup dengan nekat. Mengambil peluang. Membuat karya sendiri dan bangga terhadapnya... (Joan Didion - 1975)

Monday, March 16, 2015

Yakinlah, menulis itu menyenangkan!

Setiap bulan rutinitas saya sekarang adalah membaca satu per satu tulisan yang dikirimkan oleh teman-teman askot dari tujuh kota/kabupaten yang ada di Provinsi Sumatera Selatan. Tulisan-tulisan tersebut sekarang mewarnai hidup saya, ketika saya semakin akrab dengan gaya-gaya penulisan dari teman-teman fasilitator. Ada yang menulis dengan gaya serius, seorang lagi menulis dengan malu-malu, beberapa menulis seperti orang sedang tersesat karena kehilangan arah, yang seorang lagi menulis seperti berada dalam komedi putar, dan gaya-gaya lainnya yang bila aku antologikan bisa menghabiskan lebih dari ratusan paragraf. Tapi sungguh, saya mengacungkan jempol kepada usaha teman-teman fasilitator dalam menulis, walau kadangkala unsur keterpaksaan terlihat jelas dari beberapa tulisan yang disajikan.

Membayangkan bagaimana beberapa suasana hati teman-teman yang menulis tanpa meneguk rasa nikmat menulis, membuat ku tersenyum miris. Berbekal alasan sekedar menggugurkan tanggung jawab karena menulis Best Practice merupakan salah satu kewajiban dan masuk sebagai salah satu laporan bulanan menjadikan tulisan-tulisan tersebut kehilangan ruhnya.

Saya tidak terlalu berharap ketika akan menemukan tulisan best practice diantara berpuluh-puluh tulisan yang masuk, karena ketika seseorang menulis masih tidak dilandasi hati, maka menjadi suatu yang mustahil sebuah “Best Practice” akan muncul. 

Mari kita merenung sebentar, bila diibaratkan tulisan adalah dua orang yang sedang berbincang, tulisan adalah ucapan/perkataan dari seseorang yang bercerita, dan pembaca adalah orang yang diajak berbincang. Apakah asik berbincang dengan seseorang yang berbicara dengan terpaksa, memasang muka bertekuk lima, dengan sesekali mengeluh? Dapat dipastikan jawabannya adalah tidak asik!
Seperti itu juga yang terjadi dengan  beberapa tulisan-tulisan yang mampir via email setiap bulannya, terkadang aku harus mengeryitkan dahi untuk mengerti apa topik cerita yang disajikan karena kalimat demi kalimat yang disajikan tidak membuat “enjoy” saat dibaca.

Melihat fenomena yang terus mengulang disetiap bulannya, saya pun berinisiatif mencoba memberi arah kepada teman-teman yang tersesat dengan menentukan tema tulisan yang bergilir disetiap bulannya. Bravo! Ternyata hal ini cukup efektif, sekarang tulisan teman-teman sudah lebih terarah dan fokus pada satu permasalahan, walau permasalahan “tidak enjoy” terkadang masih terlihat.

Berdasarkan hasil uji petik yang dilakukan di beberapa kota/kabupaten ternyata permasalahan menulis yang juga menjadi permasalahan nasional ini bersumber dari mis-pengertian tentang makna “Best Practice”. Best Practice yang terdokrin di teman-teman fasilitator. Mereka berpengertian adalah “Cerita Terbaik”, yang artinya cerita tersebut harus bersumber dari kelurahan/desa yang “baik” dari keorganisasian dan kegiatan yang dilakukan. Celakanya bagi teman-teman fasilitator yang kebagian mendampingi kelurahan/desa yang dalam tanda kutip “amburadul” dari keorganisasian dan kegiatan, dan teman-teman inilah yang akhirnya mesti menekukkan muka dan mengernyitkan dahi saat menulis tulisan yang bernama “Best Practice”.

Tanpa disadari, “Best Practice” yang sesungguhnya juga lebih dekat kepada teman-teman yang mendampingi kelurahan/desa yang disebut “amburadul”. Karena, ketika teman-teman melakukan sesuatu perbaikkan dari si “amburadul”, otomatis hal tersebut merupakan bahan yang bisa diolah menjadi menu lezat “Best Practice”. Hanya dengan menjawab rumus 5W+1H sebuah tulisan best practice pun akan tercipta.

Memang kita harus berpikir “out of the box”, tapi jangan sampai kita berpikir terlalu jauh sehingga hal yang didekat pun terabaikan. Memikirkan tema yang begitu begitu bagus, hingga akhirnya malah tak jadi menulis. Menulislah dengan hati, menulis dengan berlaku seperti kita berbicara kepada seseorang, dengan memperhatikan siapa yang kita akan ajak bicara akan membawa gaya tulisan kita, seperti saat kita berbicara dengan orang tua, maka tulisan kita akan bergaya resmi, dan berbicara dengan teman sebaya maka tulisan kita akan lebih lebih santai.

Saya bukan lah seorang pujangga yang pandai merangkai kata, saya juga pastinya sangat tidak pantas bila harus disebut sebagai seorang penulis, tapi saya suka menulis, dengan membuat tulisan ini, saya hanya ingin teman-teman pun bisa merasakan nikmat saat menulis, karena menulis itu sangat menyenangkan.

1 comment:

ope said...

menulis memang menyenangkan. menuangkan isi pikiran :D