Baca cerita sebelumnya di sini
---
Hujan deras sekarang telah berganti menjadi gerimis, dan aku
sama sekali tidak melihat cela waktu untuk mengajak sang bapak bercerita sebab
tangis nya, akhirnya aku memutus kan
untuk langsung pulang ke rumah. Aku pun berdiri dari bangku panjang, menoleh ke
sang bapak yang masih saja menangis, “Pak, aku jalan duluan ya!”, ujar ku pelan
tapi berharap sang bapak mendengar suara ku. Tak ada geming yang kulihat dari
sang bapak, Akhirnya karena tak terlalu mau ambil pusing, maka segera aku
langkahkan kaki ku keluar dari warung kosong tersebut.
“Nak tunggu!!”, ku dengar sang bapak berteriak memanggil ku
setelah aku mendekat ke kuda besi ku yang basah. Aku segera menghentikan
langkah dan membalikkan pandangan ke arah suara yang memanggil. Bergegas sekali
sang bapak menuju ke arah ku sambil menggenggam secarik kertas berwarna putih.
“Nak, sebetulnya bapak tidak mau memberikan surat ini kepada mu,
tetapi bapak harus menjaga amanah seseorang!”, ujar sang bapak sambil
menyodorkan kertas berwarna putih yang ternyata sebuah amplop. “Amanah siapa
pak?”, Tanya ku sambil mengernyitkan dahi tak mengerti. Sang Bapak menggeleng kan kepala, “Sebelum Bapak kehujanan dan sampai ke sini,
ada seseorang yang meminta bapak untuk memberikan surat ini kepada seorang pemuda memakai baju
warna biru yang akan bapak temui dikala berteduh kehujanan.
“Baiklah Pak, hujan sudah reda, aku permisi pulang dulu
ya!”, ujar ku kepada sang bapak yang
mimik wajahnya terlihat datar karena terdiam dan membisu. Sekali lagi ku
lihat sang bapak tak begeming menanggapi ku, “Ya sudah lah!”, ujar ku dalam
hati sambil kembali membalikkan badan menuju si kuda besi yang telah menanti
sedari tadi.
“Mayonda Pratama Putra!”. Aku terperanjat dan segera menghentikan langkah kaki ku kala mendengar
nama lengkap ku disebut dengan jelas oleh sang Bapak. “Anak namanya Mayonda
Pratama Putra kan?”,
Tanya sang bapak yang tetap menyodorkan amplop putih itu saat aku berdiri
tertegun memandangnya. “Dari mana bapak tahu nama ku?”, Tanya ku dengan kernyit
dahi dua kali lipat dari sebelumnya. “Maaf nak, sebetulnya Bapak tidak tahu
nama anak, bapak hanya membaca tulisan yang ada di amplop ini”, jawabnya
sembari kembali menyodorkan amplop putih di tangan kanan nya.
Aku pun segera menerima amplop putih itu, dan bergegas
membaca tulisan di atas amplop yang ternyata benar surat tersebut ditujukan kepada ku. Karena
rasa penasaran, tangan ku pun bermaksud merobek amplop dan ingin membaca isi
nya. “Tunggu nak!! Jangan buka amplop nya sekarang!”, ujar sang bapak mencegah.
“Kenapa pak?”, Tanya ku heran karena aku melihat wajah sang bapak kembali
menangis. Dengan sesegukkan, sang Bapak meraih tangan ku, “Bapak menangis
karena Bapak harus memberikan surat ini kepada
mu, dan Bapak mohon dengan sangat, simpan saja surat ini, tapi jangan dibuka!”, ujar nya, kemudian
berlalu kearah bakul bambu nya, meninggalkan aku yang tercengang dengan semua keanehan. (bersambung…)
4 comments:
hehe...selalu ketipu sama dengan Abah
hadeh...ternyata sistaku ini pandai mengaduk aduk emosi..hehe
Jempoll dah!!!!
ayuk,lanjutannyo ku tunggu yo...penasaran
aku jg ayuk,lanjutannyo ku tunggu yo...penasaran
wah salah mendarat langsung di bagian kedua neh...
Post a Comment