Aku tidak akan menjadi sehat dengan meminum secangkir kepahitan kecuali aku menemukan madu sebagai endapannya.
Aku tidak akan selamat melintasi jalan sempit kecuali aku bisa mencapai padang rumput hijau di seberangnya.
Aku tidak akan rela kehilangan seorang teman dalam kabut surga begitu aku menemukan dia dalam kejernihan fajar.
Berapa
banyak waktu mesti ku tahan menanggungkan sakit dan melepuh di bawah
kerudung kesabaran, seraya mengangankan adanya ganjaran dan kebenaran.
Tapi ketika aku membuka kerudung itu, aku melihat kesakitan telah
berubah menjadi kesenangan dan yang melepuh telah berubah menjadi
kesejukkan dan kedamaian.
Berapa banyak waktu harus ku
jalani bersama sahabatku di Dunia-yang-Serba-Permukaan ini,
bersungut-sungut sendiri menyesali ketololan dan kebodohannya. Tapi aku
tidak juga sampai ke Dunia-Penuh_Kedalaman itu sampai aku menyadari
sendiri bahwa aku telah menjadi tiran lalim dan temankulah yang menjadi
arif lagi bijak.
Berapa lama aku mesti linglung karena
tuak ke-dirian-ku, seraya beranggapan bahwa aku dan temanku bagaikan
domba dengan serigala, sampai aku mendusin dari mabuk lalu tersadar
bahwa aku dan dia adalah sama-sama manusia.
Kita semua
tergila-gila pada paham bahwa kejelasan terdapat pada 'aku', sedang
kepura-puraan terdapat pada 'kamu'. Karena itu kita tidak mau merasakan
apa yang oleh jiwa dibisikkan kepada 'aku' dan apa yang tersembunyi yang
terdapat pada 'kamu'.
Apa yang sesungguhnya sedang kita
lakukan ketika keangkuhan membuat kita berpaling dari kebenaran yang
terpampang di tengah-tengah kita?
Aku berkata kepadamu -
walau mungkin kata-kataku adalah topeng yang menyelubungi wajah sejatiku
- aku berkata kepada mu dan kepada jiwaku sendiri, bahwa apa yang
tampak di mata kita tak lain kabut yang menyembunyikan dari kita hal-hal
yang harus kita cerna dengan kedalaman. Apa yang kita dengar dengan
telinga kita hanyalah suara riuh, yang mengubah apa yang mestinya kita
cermati dengan pendengaran hati.
Jika kita menyaksikan
seorang polisi menggandeng seseorang melangkah ke bui, kita harus
menahan diri menyebut salah satu nya penjahat. Jika kita melihat
seseorang terpercik darahnya sendiri, sementara di dekatnya ada seorang
yang tangannya bernoda merah, kita jangan sampai tergesa menuduh yang
satu pembunuh dan satunya lagi korban. Jika kita mendengar seseorang
bernyanyi dan yang satu memandunya, kita harus bersabar dulu sebelum
memutuskan siapa menghibur siapa.
Maka itu, saudara ku,
jangan sampai kita membuat kesimpulan tentang seseorang hanya dengan
melihat penampilan luarnya, dan jangan mengambil satu atau sejumlah
perkataan-nya untuk merumuskan bagaimana diri terdalamnya. Di balik
kehadiran orang yang kau anggap bodoh-hanya karena ia kurang pandai atau
bicara tanpa nada-ada banyak hikmah kesadaran yang membimbingmu ke
kearifan dan di sana tersembunyilah hati mandah bagaikan lambaian
keinsafan. Dibalik kehadiran orang yang engkau pandang rendah, karena
sosoknya yang buruk atau hidupnya yang nista, ada banyak hikmah karunia
dari surga yang menjadi hembusan napas Tuhan.
Engkau
mungkin mengunjungi istana dan gubuk pada hari yang sama, menyisakan
rasa takjub pada yang pertama dan rasa kasihan pada lainnya. Tapi jika
saja engkau dapat menembus rajutan penampilan dengan wawasanmu, niscaya
ketakjubanmu akan surut berganti rasa sesal, sedangkan rasa kasihan mu
akan berubah menjadi pujian.
Engkau mungkin akan
berpapasan dengan dua orang pria diantara waktu pagi dan malam mu. Yang
pertama berbicara pada mu dengan riuh angin ribut, dengan sosok
menggetarkan yang bersikap gagah perkasa. Sedang yang kedua mengajakmu
berbicara dengan gagap, penuh sungkan, dengan suara gemetar dan kalimat
terpatah-patah. Pada yang pertama engkau melihat keberanian serta
ketetapan hati, dan pada orang kedua terlihat kelemahan dan
ketidakberdayaan. Tapi seandainya kau lihat mereka pada suatu waktu,
disaat kemalangan menghadang, atau datang panggilan jihad demi
mempertahankan keyakinan, maka engkau akan tahu bahwa kekasaran yang tak
tahu adat bukan berarti keberanian, dan sikap santun pemalu tidak
selalu berarti pengecut.
Kalau suatu kali engkau melongok
keluar jendela dan melihat diantara para pejalan kaki ada seorang
biarawati melangkah ke kanan dan seorang pelacur melangkah ke kiri -
maka engkau akan bergumam seketika, "Betapa mulia yang satu dan betapa
hina satunya lagi". Namun jika engkau pejamkan matamu dan mendengarkan
barang sejenak, engkau akan mendengarkan suara bisikkan yang mengalun
dari angkasa, "Yang seorang mencari-Ku lewat doa-doanya, yang satunya
lagi memohon kepada-Ku melalui deritanya, dan pada tiap-tiap jiwanya
terdapat bayangan dari jiwa-Ku".
Engkau mengembara di bumi
mencari-cari apa yang disebut kemajuan dan peradaban. Engkau memasuki
kota pencakar langit, dengan bangunan umum nan megah dan jalan-jalan
raya yang lebar-lempang. Orang-orang berlalu-lalang kian kemari:
Terowongan yang ini menembus bumi, dan yang satu lagi menjulang
kelangit; yang satu tak terlindung dari petir, yang satu lagi melakukan
riset atmosfer. Semuanya mengenakan busana dari penjahit ternama dengan
desain yang unik, seolah tengah mengikuti festival atau perayaan.
Setelah
beberapa hari engkau pun sampai ke kota lain, dengan pondok-pondok
sederhana, dijalan-jalan sempit yang, ketika datang banjir musim
penghujan, semuanya akan berubah menjadi seperti lempung dikitari lautan
keruh. Selama musim kemarau jalan-jalan itu pun akan bersalin rupa lagi
menjadi kepulan awan debu.
Penduduknya pun mesti
menyesuaikan diri, mereka bertahan diantara hidup alami dan
kesederhanaan, layaknya tali terentang diantara simpul-takik dihaluan
kapal. Mereka berjalan dengan pelan, bekerja asal-asalan, dan memandang
mu seolah di belakang pupil matanya terdapat mata yang lain lagi.
menatapmu dari kejauhan yang sayup-sayup.
Kau tinggalkan
kota ini penuh bencidan jijik seraya bergumam, "Perbedaan antara kedua
kota itu bagaikan perbedaan antara hidup dan mati. Kota pertama memiliki
semua kekuatan dan perkembangan; yang kedua menyimpan segenap kelemahan
dan kemelaratan yang papa. Kota pertama memiliki kecerahan musim semi
dan musim panas, yang kedua menyimpan kemuraman musim dingin dan musim
gugur. Kota pertama dengan kegemilangan-nya bagaikan seorang anak muda
yang tengah berdansa di taman; kota kedua memperlihatkan kerentaan dari
sebuah barang lapuk ditengah abu'.
Betapapun juga,
andaikan mata dapat melihat cahaya Tuhan di atas kedua kota itu, maka
mereka akan melihat kota-kota itu seperti pohon sejenis yang tumbuh
dikebun yang sama. Pandangan yang jernih pun akan engkau peroleh, yang
menjelaskan kesejatian masing-masing pohon- yang tampak maju dan
berkembang pesat sesungguhnya cuma sekejap saja berlangsung, bagaikan
umur gelembung sabun. Dan yang engkau lihat lemah, tidak seperti yang
satunya itu, pada hakikatnya justru akan bertahan.
Jangan,
jangan mengira kehidupan itu ada dipermukaan segenap hal-ihwal. Ia
sepenuhnya tersembunyi; dan dunia yang tampak itu sesungguhnyalah
sekedar kulit, bukan isi.
Manusia diperhitungkan bukanlah berdasarkan tampangnya, melainkan hati nya.
Demikian
juga halnya agama, yang tidak diperhitungkan berdasarkan manifestasi
luarnya, seperti bangunannya, ritualnya atau tradisi-tradisinya,
melainkan terletak pada jiwa-jiwa yang berlabuh padanya dan pada tujuan
jiwa yang dibentuknya.
Hakikat seni bukanlah tinggi-rendah
nada lagu, bunyi kata dalam kidung pujian, atau pada garis dan
warna-warni pada lukisan yang engkau lihat dengan kedua matamu.
Melainkan terletak pada jeda getar dengan senyap antara nada tinggi dan
rendah. Ia terletak pada perasaan yang hanyut saat engkau mendengarkan
kidung pujian; terletak pada perasaan yang mengendap tegang, sepi, dan
sendiri dalam jiwa sang penyair. Ia terletak dalam ilham lukisan yang
tererap oleh mu sementara engkau menatapnya, yang membawa mu melambung
terbuai bahkan hingga melebihi keelokkannya.
Bukan,
Saudaraku, bukan - siang dan malam bukanlah apa yang dinampakkan di
luarnya. Aku yang menyusuri kemegahan siang dan malam, dengan ini
mengaku bahwa aku bukanlah kata-kata yang aku nyatakan dihadapanmu,
kecuali sepanjang kata-kata itu menyampaikan sesuatu dari lubuk hati
yang terdalam. Maka jangan mengiraku bodoh sebelum engkau memeriksa
esensi yang tersembunyi, atau menganggapku jenius sebelum engkau
menelanjangi hakikat diri.
Jangan pula menilai, "Ia
seorang tamak yang pelit", sebelum engkau memeriksa hati ku; atau "Ia
seorang kesatria yang murah hati", sebelum engkau melihat apa yang
membuatku menjadi satria dan pemurah. Jangan menyebutku seorang
penyayang sampai cintaku mewujud-kan dirinya kepadamu sebagai cahaya dan
api yang memancarkannya. Dan jangan pula menyebutku seorang periang
sampai engkau menyentuh luka hati ku yang berdarah-pedih.
----
Copy-paste daru buku Raja yang Terpenjara - Khalil Gibran
3 comments:
baca karya kahlil gibran, musti konsentrasi penuh hehe
artikel yang menarik.. hehehe
karya-karyanya khalil gibran ini selalu bagus dan ga mudah untuk diresapi. jadi harus berulang kali dibacanya
Post a Comment