Aku cuma bisa meringis kala semalam tumben-tumbennya mendapat sapaan dari pak TA Sos di ruang chat facebook. Di awal chat pertama kami itu terkesan sangat dingin, mungkin lebih dingin dari gletser yang ada di kutub utara, secara toh, namanya juga chat pertama, hehehe.
Tak disangka, ternyata aku ditanyai tentang kenapa aku sudah lama tidak mengirimkan tulisan-tulisan Best Practice lagi. Huft!! awalnya aku seperti biasa hanya bisa cengar-cengir seperti kuda yang salah makan rumput dengan memberikan alasan yang memang tak masuk akal, tetapi akhirnya setelah aku pikirkan dan ku lihat isi blog ku akhir-akhir ini, memang sudah lama sekali ya aku tidak menulis tentang pengalaman ku melakukan dampingan.
Baru nyadar?
Hahahaha,, iya ding!! baru sadar sesadar-sadarnya, maka nya sekarang aku coba kembali menceritakan nya. Aku mulai dari mana ya? hmm,,
Sejak akhir bulan Januari memang merupakan hal yang sulit untuk ku, posisi baru yang diberikan membuatku harus lebih banyak belajar tentang sebuah tanggung jawab yang lebih besar, yang dulunya aku hanya sebagai awak kapal, sekarang aku harus berperan menjadi seorang nahkoda. Huft,, peran yang selalu aku hindari waktu ditanah "Pat Petulai" ini akhirnya mau tak mau harus aku perankan di sini, di tanah "Seinggok Sepemunyian".
Pembelajaran baru banyak aku dapati dari posisi ini, dari bagaimana sulitnya memanage tim sampai bagaimana menyingkapi permasalahan-permasalahan yang menjadi dilema dalam melakukan pendampingan, baik itu dari yang berasal dari aktifitas masyarakat seperti ramainya pilkada, pilgub, atau dari kebijakkan program yang selalu berubah-ubah sesuai dengan plesetan namanya terdahulu yaitu Program Penuh Ketidak Pastian.
Selalu berpikir bagaimana bisa bekerja dengan semboyan "Smart Work", tanpa mengganggu aktifitas rutin masyarakat yang sekarang sedang bersedih akan anjloknya harga lateks (getah karet) sering kali membuat insomnia ku kumat kembali, huft,, betul-betul sebuah pembelajaran yang berharga untuk hidupku.
Ok, kita balik ke Desa dampingan, sekarang ini pendekatan secara persuatif kami lakukan sebagai proses untuk mengembalikan tujuan awal dari program yang secara tidak sadar ternyata sudah lumayan keluar jalurnya. Hal ini terbukti dengan bagaimana proses siklus yang merupakan alat untuk melakukan Pemberdayaan Masyarakat ternyata sebagian besar dimasyarakat hanya menjadi hal nomor dua setelah dana BLM.
Kenapa bisa seperti itu?
Suatu pertanyaan yang lumayan sulit untuk dijawab, karena jawabannya juga kembali kepada semua yang disebut para fasilitator, baik dari tingkatan desa sampai kepada tingkatan pusat. Ketika kita ingin masyarakat melakukan siklus dengan baik, apakan kita pendamping juga telah melakukan siklus dengan baik? Ketika kita ingin masyarakat merefleksikan kemiskinannya, apakah kita telah merefleksikan kemiskinan yang ada di kita sendiri? Yuuk,, kita mengingat kembali materi "paradigma pembangunan" yang di dapat selama 3 hari 3 malam dari 10 hari lamanya Peldas dilakukan. Mengutip jawaban PakPe (Mantan TL KMW-7 Bengkulu) saat kami protes akan banyaknya porsi hari untuk membahas materi tersebut, beliau hanya tertawa dan berkata bahwa "kunci untuk menjadi seorang fasilitator ialah membuka hati dan pikir, bila kuncinya di dapat dan semua fasilitator memiliki paradigma (cara pandang) yang sama, maka proses dilapangan pun akan memiliki ritme melody yang merdu". Huft,, jadi kangen PakPe dan teman-teman di Curup,,,hehehehe.
Ya, semuanya melakukan pembelajaran, dan pembelajaran ini adalah sebuah proses yang indah, bahkan akan lebih indah dari pada hasil yang dicapai. So, mari menikmati proses nya!! ^_^
6 comments:
Dari setiap perbuatan pasti ada hikamh di baliknya Mbk.
Tetaplah semangat untuk berusaha dan menghargai sebuah proses.
Salam hangat dari Jember
hmm jadi sekarang udah bukan anak kapal lagi ya? sudah jadi nahkoda hmm, hehe :)
hmm, lebih besar tanggung jawabnya nih kalo dah jadi nahkoda :)
saya nyimak aja deh sob, hehe :D
terimakasih atas informasinya sangat bermanfaat
makasih infonya
Post a Comment