Setelah menyelesaikan acara print me-print instrumen uji petik pelatihan masyarakat, entah kenapa aku begitu rindu menarikan jemari di malam tanpa hujan ini. Berbagai rasa tak biasa berkecamuk di dalam benak ku, rasa suka dan tak suka mewarnai hari-hari ku, dan pastinya semua kisah di baturaja begitu menyita alam pikir ku, sampai-sampai di dalam tidur pun aku tetap berpikir tentang baturaja.
Kota Baturaja yang dari kultur geografisnya mengingatkan ku pada kota Curup ini, menurutku tidaklah se-ekstrim seperti awal aku mendengar cerita-cerita tentangnya. Aku lihat, sebetulnya masih banyak sekali yang indah di sini, hanya saja keindahan itu masih tersimpan rapi, seperti suatu adat-istiadat lampau yang memandang aneh pada budaya baru yang masuk.
Bila tarian jemari ku malam ini terbaca seperti sebuah keluh, aku sama sekali tak berharap melakukannya. Tapi bila tarian jemari ku malam ini menggambarkan kebimbangan dan kebingungan ku, aku akan serta merta segera menganggukkan kepala.
Aku merasa seperti aku bukan diri ku, setiap langkah yang di lakukan seakan-akan merupakan suatu kesalahan dan dengan segera aku kembali lagi ketempat semula. Terdiam, merenung, memandang strategi pendampingan ku yang bubar jalan seperti para pedagang kaki lima yang lari tunggang-langgang dikejar pol PP.
Aku ingin berteriak, tapi merasa bingung akan menteriakkan apa? Kala aku melihat waktu yang paling berharga begitu disia-siakan. Kala aku melihat seorang maling teriak maling!. dan hal salah tampak begitu banyak dibandingkan suatu kebenaran dan keindahan.
Yang anehnya, kenapa air mata ku begitu mahal sekarang, padahal biasanya air mata ini akan menetes tanpa ada komando sedikit pun. Sesekali, di benak ku, aku berkata tak mampu dan berusaha melompat ke tanah yang lebih hijau. Tapi, di sisi benak lain menguatkan ku dan berkata bahwa aku harus yakin bisa melewati semua ini.
Baturaja Land adalah tanah yang indah, tapi kenapa kisah horor menutupi keindahannya, dan aku di sini terpuruk pada ketakutan ku sendiri.
No comments:
Post a Comment