Sudah tiga hari ini
kota Palembang diguyur hujan deras. Hujan yang menyebabkan sebagian jalan
protokol menjadi tergenang sehingga menyebabkan kemacetan yang cukup dahsyat
ini menjadi warna betapa tidak berdayanya seorang makhluk atas apa yang menjadi
ketetapan sang Pencipta.
“Masih hujan air,
belum hujan batu akik!”, jawab seorang teman sambil tertawa sembari memeras
jaketnya yang basah kuyup saat
bertandang ke rumah ketika ditanya kenapa tak berteduh dulu. “Katanya kamu
ingin cerita, hayo mumpung aku ada di sini? Tapi bagusnya kamu kasi aku yang
anget-anget dulu deh”, ujarnya langsung menodongkan kepiawaiannya menjadi tong
sampah setiap keluh-kesah ku, aku pun tertawa, sembari masuk ke dapur menyiapkan
secangkir kopi hangat untuknya.
“Terus? Apa keputusanmu?”, ujarnya setelah aku menceritakan apa yang mengganjal di hati selama tiga hari ini. “entahlah, aku ikuti saja permainannya, karena aku sudah merasa tak berdaya!”, jawabku miris dan ku lihat mata itu memandang menusuk seperti tak puas dengan jawaban yang ku beri. “Kamu menyerah!”, tanyanya lagi dan langsung ku jawab dengan anggukkan kepala.
“Great! Aku semakin
tak mengenali mu sekarang, kamu banyak mengalami perubahan Mi, jangan saja
akhirnya kamu bermetamorfosa menjadi kodok!”, ujarnya tertawa kemudian menghirup pelan
kopi yang asapnya masih mengepul. “Enak
saja! Kodoknya ya kamu!”, ujar ku sembari tertawa lepas untuk yang pertama
setelah tiga hari ini. “Lah iya, metamorfosa mu itu mengkhawatirkan loh, tapi
aku Cuma saran tetaplah menjadi diri mu, dengarkan lah hati mu setiap membuat
keputusan!”, ujarnya memasang wajah serius. Aku terdiam, kami terdiam, sibuk
dengan pemikiran masing-masing sembari memandang hujan yang mulai reda.
1 comment:
Mehehehehehe...
Kurang panjaaaaang... :D
Emosinya belum dapattttt.. Kentang, Mbak Amiiiii.. :D
Post a Comment