“Ih, kamu
kok ngomongnya serem banget?”ujar Tira sembari mengangkat bahunya tanda
bergidik ngeri. “Loh, kok serem sih, aku
ngomong kenyataan ini. Tadi kan kamu nanya, apa yang sedang aku pikirkan, sudah
aku beri tahu eh malah sewot”, ujarku
tersenyum kecil melihat Tira yang masih melipat muka jadi dua belas tanda kalau
dia benar-benar tak suka dengan tema pembicaraan yang dia mulai sendiri.
“Tapi kan,
masa mikirnya itu sih. Harapanku tadi, kamu banyak diam begini lagi mikirin
soal jodoh mu yang masih lari-lari tak jelas, atau mungkin lagi mikirin gimana
caranya dapat uang banyak tapi tetap santai, gituuu!!”, jawabnya masih sewot
tapi tak berhenti menyeruput es jeruk di gelas.
Aku semakin
tersenyum lebar melihat gelagat sahabatku yang tak sedikit centil tapi cukup
perhatian. Aku pun mengaduk pelan segelas es jeruk yang semakin mencair dan
belum tersentuh di hadapanku, Tira masih asik ngedumel tak jelas tapi tetap melahap
siomay pesanannya.
“Kamu tak
makan? Jangan bilang ya kalau kamu sampai tak nafsu makan memikirkan soal
mati-mati itu?” Tanya Tira yang membangunkanku
dari lamunan. Aku tertawa
terbahak-bahak, sampai beberapa orang di meja sebelah menoleh melihat ke arah kami.
“ Tapi Tira, aku beneran loh, selama ini kan kita terlena hanya memikirkan
tentang bagaimana hidup enak, tapi lupa sama sekali bagaimana cara agar mati
enak. Dari pengalaman ku sepeninggalan ayah ibu, aku pun sadar kalau yang aku
kejar, yang aku perjuangkan selama ini semuanya hanya semu. Allah maha baik,
Dia menunjukkan semua kepadaku kalau hidup di dunia ini hanya sementara. Dunia
hanya tempat kita mencari bekal untuk perjalanan yang lebih panjang lagi di alam
akherat. Dan pertanyaannya, bekal apa yang sudah kita persiapkan sampai dengan
sekarang? Ujarku serius, dan Tira pun terlihat sangat menyimak apa yang aku katakan.
“Tapi kan
kamu sendiri yang pernah bilang kalau dunia pemberdayaan itu adalah dunia mu? Sekarang
aku lihat kamu malah menjauh dari dunia itu”, Tanya Tira pelan sambil mengaduk
es jeruk yang tinggal seperempat gelas.
“Iya dong,
sampai sekarang juga masih, siapa bilang aku menjauh? Aku tetap di dunia
pemberdayaan tapi, mungkin jalannya sedikit beda dari yang dulu. Memang sih aku
akui kalau setelah aku menepi dari program pemberdayaan yang menempaku selama ini, langkah
ini lebih berat karena aku harus lebih dahulu bisa memberdayakan diriku sendiri.
Memang kalau melihat dari teropong financial, penurunan nominal angkanya sangat
drastis, tapi ternyata sekali lagi Allah Maha Baik, Allah mencukupkan ku.
Sekarang aku lebih memiliki waktu untuk ku sendiri, Alhamdulillah sekarang aku
bisa melakukan hobby kerajinan yang dari dulu tak pernah sempat untuk di
lakukan. Dan pastinya yang lebih menggembirakan, sehari aku bisa tak meninggalkan
membaca Al Qur’an walau masih terbatah-batah. Sungguh nikmat ini lebih dari
pada urusan nominal financial”, lanjutku panjang lebar dan sukses membuat Tira
yang biasanya super bawel jadi terdiam.
“Tapi kan
sayang kamu cuma seperti ini, kalau kamu punya kesempatan kembali lagi ke
dunia pemberdayaan yang dulu kamu masih mau kan?” Tanya Tira dengan mimik serius.
“Hmm... mau
apa tidak ya? Kalau pun aku mau, aku sekarang sudah berbeda, aku tak mau lagi
seperti dulu dimana waktuku 24 jam ku berikan untuk urusan duniawi. Aku ingin
bahagia tak hanya di dunia, aku juga ingin bahagia di akherat nanti. Kitakan
tidak tahu, sampai kapan batas umur kita ini?” jawabku sekenanya.
“Iya deh,
sini es jeruk mu, sayang kalau tak diminum!”, ujar Tira sambil menarik gelas es
jeruk di hadapanku dan secepat kilat memasukkan pipetnya .
“Eh, jangan
dong, ini punya ku!”, ujar ku mencoba mencegah tapi Tira sudah terlebih dahulu
menghabiskan setengah es jeruk dari gelas yang dia rebut.
“Terlambat,
makanya jangan ngomong terus!”, ujarnya terkekeh dan merasa menang. Aku pun
jadi ikut tertawa melihat tingkah konyolnya.
No comments:
Post a Comment